Saturday, October 18, 2008

Cerpen-Asmara Terlarang Ibu Guru

“Mereka tidak bisa pulang ke asrama, karena kemalaman.” Jelas ibunya ketika Karlina menanyakan tentang empat ABG cowok yang menginap di rumah ibunya pagi minggu itu. Rumah Karlina berada sekitar lima puluh meter di belakang ibunya, tetapi hampir setiap pagi dia menjenguk ibunya, karena hanya tinggal itulah orang tuanya yang masih hidup. Dia ingin memastikan bahwa ibunya dalam keadaan sehat, maklumlah usianya sudah hampir kepala tujuh. Lalu pagi itu dia melihat ada empat orang anak laki-laki sedang minum dan makan kue di ruang tamu, dilayani oleh adik perempuannya yang mengajar di SMP Tarantula.
“Tidak bisa pulang karena kemalaman? Memangnya mereka pergi kemana?” Tanya Karlina berbisik, penasaran. Dia dan ibunya berada di dapur, tetapi keduanya bisa dengan jelas mendengar sendau gurau dari ruang tamu.
“Tadi malam mereka bertamu ke sini, sampai larut malam. Karena tahu pasti dimarahi oleh pengasuh asrama, mereka lalu sekalian menginap di sini.” Jelas ibunya lagi.
Aneh. Pikir Karlina. Bertamu sampai larut malam, takut pulang, lalu menginap. “Lalu mereka itu siapa sebenarnya, Ma?” Desis Karlina lagi, semakin penasaran.
“Anak-anak murid Tina, adikmu. Mereka kelas satu SMP Tarantula. Wali kelasnya kan adikmu”
Karlina merasa ada yang tak wajar. Masa ada anak murid bertamu malam minggu ke rumah gurunya sampai larut malam, lalu menginap. Sungguh tak masuk di akal sehat. Memangnya rumah gurunya itu hotel apa. Pagi ini mereka tidak langsung pulang, tetapi malah minum kopi dan makan kue. Kalau yang bertamu itu anak perempuan sih tak jadi persoalan, ini anak cowok ABG bertamu sampai kemalaman di rumah ibu guru.
Tetapi karena tujuan Karlina hanya ingin memastikan kesehatan ibunya, Karlina lalu tak ambil pusing. Dia lalu pamit kembali ke rumahnya, karena di rumah tidak ada orang yang menjaga anaknya. Hal tak wajar yang dirasakannya dibantahnya sendiri, karena mustahil anak-anak SMP mengapeli ibu guru, apa lagi adiknya itukan perempuan bersuami dan sudah mempunyai dua orang putri. Belum lagi jika di lihat dari sisi umur mereka yang terpaut jauh, karena adiknya adalah lulusan S-1, jadi mana mungkin lalu tertarik dengan anak ABG. Kalau dia laki-laki sih mungkin saja, tetapi adiknya inikan seorang wanita. Jadi mustahil, pikir Karlina menganalisa dalam hatinya.
Di rumahnya Karlina lalu sibuk dengan urusannya sendiri. Dua anak kecilnya yang berusia empat dan tiga tahun sedang bermain di dapur, sementara yang tertua sudah bersekolah. Suaminya pagi-pagi sudah berangkat mengojek. Karena saat subuh bis angkutan umum dari ibu kota propinsi datang membawa penumpang dan para pengojek berebutan berusaha mengais rejeki.
Setiap hari Karlina berhadapan dengan pekerjaan rutinnya; menyapu, mengepel, mencuci piring, memasak, mencuci pakaian, menjemurnya, mengangkat dan melipatnya, mengurusi anak-anaknya dan seabrek pekerjaan lainnya. Walaupun sejak pagi-pagi sudah melakukan pekerjaannya sampai larut malam, tetap saja dia kekurangan waktu. Sehingga Karlina heran sendiri melihat para tetangganya pagi-pagi sudah santai dan mengobrol ke sana kemari, ada yang membanggakan kekayaannya, ada yang memamerkan gelang pelak becaknya, bahkan ada yang menceritakan kehebatan suaminya diatas ranjang. Sore hari dia lihat lagi mereka berkumpul dan mengobrol ngalur-ngidul. Jadi kapan mereka mengurus anak, membereskan rumah dan lainnya? Hebat benar mereka, pikirnya. Bagaimana manajemen waktu mereka bisa begitu canggih. Sementara dia sendiri lintang pukang menangani pekerjaan, tetap saja pekerjaannya tidak pernah tuntas. Tetap saja waktunya tidak pernah cukup.

Sesungguhnya Karlina tidak ingat lagi akan kisah empat orang anak SMP yang menginap di rumah ibunya. Jika dia tidak mendengar setiap sore ada yang berkaraoke di rumah ibunya akhir-akhir ini. “Siapa yang berkaraoke setiap sore itu?” Tanya Karlina pada Armandi, anak yang kost di rumah ibunya. Kebetulan pagi itu libur, Armandi bertandang ke rumah Karlina.
“Ah, si Pajaro.” Jawab Armandi.
“Pajaro? Siapa dia?”
“Itu, anak murid tante Tina.” Jelas Armandi, yang masih memanggil tante kepada mereka.
Anak murid, setiap sore berkaraoke di rumah gurunya? Bathin Karlina. Yang benar sajalah. “Eh, kalau bicara yang benar ya. Jangan ngarang-ngarang!” Tegur Karlina. Karena dia tak yakin akan kebenaran info yang disampaikan keponakannya ini.
“Aku tak bohong, tante.” Bantah Armandi. “Bukan hanya itu, dia bahkan makan minum dan tidur siang di situ. Nanti pulangnya malam, sekitar jam sepuluh atau sebelas begitulah.” Tambah Armandi lagi meyakinkan Karlina.
Mendengar hal itu Karlina jadi penasaran. Seorang anak SMP, setiap hari bertamu, makan tidur dan berkaraoke di rumah ibu guru. Lalu malam pulangnya jam sepuluh atau sebelas.
“Kamu tidak bohong, kan?” Desak Karlina lagi masih belum percaya.
“Benar tante. Aku berkata jujur. Kalau tante tidak percaya, tanyalah nenek dan Oom Didi.” Jelas Armandi. “Bahkan kemarin kulihat, Pajaro yang ikut tante Tina mengoreksi ulangan umum dan mengisi buku rapor anak-anak kelas satu.” Sambung Armandi lagi.
“Hey, kamu sudah pandai menggossip ya? Hati-hati bicaramu.” Tegur Karlina. “Memeriksa ulangan dan mengisi rapor itu kewenangan guru, apa jadinya jika murid ikut mengoreksi dan mengisi buku rapornya sendiri?. Apa tidak hancur masa depan bangsa ini?”
“Kalau tante tidak percaya, lihat saja sendiri.” Kilah Armandi membela diri. “Malahan kemarin ku lihat tante Tina membeli nasi bungkus untuk mereka berdua dengan alasan karena mereka mengoreksi nilai ulangan dan mengisi buku rapor.”
Karlina terdiam. Benar juga kata keponakannya ini, mengapa dia tidak melihatnya sendiri?.
“Oom Andaresta mu, ada pulang nggak dari kampung?” Tanya Karlina menanyakan suami Tina, karena dia bertugas sebagai guru kontrak di desa Pangkal Duit. Tapi setiap dua minggu sekali dia pasti pulang mengunjungi anak isterinya.
“Ndak, Tante.” Jawab Armandi. “Tapi yang lucu tante, setiap Oom Andaresta menelpon, tante Tina selalu bilang jangan lama-lama, dia lagi sibuk. Tapi kalau tante Tina menelpon Pajaro, dia berha-ha-hi-hi meskipun pulsanya meluap seperti lumpur Lapindo.”
Wah-wah, pikir Karlina, situasinya semakin runyam nih. Karlina tidak mampu lagi menahan rasa penasarannya. Dia lalu bergegas menuju ke rumah ibunya.
“Mama, siapa sih yang berkaraoke setiap sore di rumah ini?” Tanyanya pura-pura tidak tahu begitu dia menjumpai ibunya yang sedang memasak di dapur.
“Ooh. Itu, si Panto. Eh, anu Paro, maksudku.” Jawab ibunya sambil memperbaiki kaca matanya.
“Maksud mama, si Pajaro?” Tukas Karlina menyebutkan nama yang tadi dikatakan Armandi, keponakannya.
“Oh, Ya. Pajaro maksudku.” Ulang ibunya lagi.
“Mama tidak anehkah? Masa seorang anak murid laki-laki setiap hari bermain di rumah ibu gurunya. Makan-minum, tidur siang dan berkaraoke dan pulang malam lagi?” Tanya Karlina.
“Mama tak sempat memperhatikannya, Nong.” Jelas ibunya yang sering memanggil Karlina Nonong. “Mungkin karena anak itu ketua kelas, sementara adikmu adalah wali kelasnya.”
“Itu tak masuk akal, Ma.” Bantah Karlina. “Hubungan ketua kelas dan wali kelas tidak mungkin seakrab itu. Pasti ada apa-apanya antara mereka berdua.”
“Ah, tak mungkinlah, Nong.” Bantah ibunya. “Mana mungkin Tina begitu, diakan sudah bersuami dan sudah punya anak lagi. Apa lagi adikmu itu anak yang pintar, lulus Perguruan Tinggi juga melalui jalur PMDK.” Lanjut ibunya lagi dengan tidak lupa membanggakan kepintaran adiknya yang lulus melalui jalur Penelusuran Minat Dan Kemampuan itu.
“Ma. Apa saja bisa terjadi. Manusia di dunia ini sudah pada gila. Tidak kah mama lihat di televisi; korupsi, penipuan, dan perselingkuhan terjadi di mana-mana. Bahkan dana Haji pun bisa di korupsi oleh orang-orang yang seharusnya hidupnya suci. Jadi mungkin saja mereka itu berpacaran.” Jelas Karlina lagi.
Ibunya terdiam, jari-jari jemarinya dengan lincah membersihkan sayuran kangkung yang akan dimasaknya.
“Ma, lain kali mama tegur. Apa kata orang, seorang anak ABG tiap hari mengunjungi ibu gurunya. Makan, minum, tidur siang dan berkaraoke. Itu sudah tak wajar, Ma.” Kata Karlina lagi mengingatkan mamanya.
Setelah Mamanya berjanji untuk menegurnya. Karlina pun lalu turun ke rumahnya dan meneruskan pekerjaannya.

Dari Armandi yang dijadikan intelnya, Karlina tahu jika kelakuan adiknya semakin parah. Tiap hari muridnya itu datang, seperti biasa dia makan-minum, tidur siang, berkaroke. Lalu malam harinya keduanya keluar, katanya belajar mengendarai motor. Anak itu yang mengajari gurunya. Sepulang belajar motor, Tina biasanya membeli kue atau nasi bungkus. Tapi yang lucu, jika anak-anaknya minta ikut memakan nasi bungkus atau kue-kue yang dibelikan itu, Tina marah. Sehingga anak-anaknya hanya menangis saja.
Ini sudah keterlaluan, pikir Karlina. Dia lalu menelpon Winda, adiknya yang lebih tua dari Tina dan juga masih tinggal bersama mamanya. Hanya saja Winda sering pulang larut malam, karena pekerjaannya seabrek sebagai tenaga pembukuan di agen Unilever di kotanya. Karlina menjelaskan masalahnya. Rupanya Winda sudah tahu, hanya saja dia tidak berani menegur. Selain karena dia tidak mau bertengkar, katanya. Juga baru satu dua patah kata dia dan Mama mereka menegurnya, maka Tina akan menjawab seperti senapan mesin yang ditembakan tentara Israel kepada para pengungsi Palestina.
Mendengar hal itu, Karlina lalu menelpon Mina, kakaknya yang berada di kota lain yang berjarak sekitar seratus kilometer dari tempat mereka. Karlina juga menjelaskan masalahnya dan meminta kakaknya untuk menasihati adik bungsu mereka itu. Mina berjanji akan datang pada hari Sabtu. Tetapi ketika mencoba menasihati Tina, Mina pun tidak berdaya. Karena baru saja dia mencoba, Tina sudah memberondonginya dengan mengatakan bahwa Mina pun tak lebih baik dari dia. Sampai-sampai Mina yang bendaharawan di sekolahnya itu berselingkuh dengan kepala sekolah tempat dia mengajar dan menerima THR dua kali setahun pun di singgung Tina. Tidak ketinggalan juga affair Mina dengan pesuruh sekolah mereka yang muda dan tampan jadi sasaran balasan Tina. Mina jadi tidak berkutik.
Karlina sangat masgul. Terutama sekali melihat Mamanya yang setiap hari memasak, mencuci piring, menyapu dan mengepel lantai, mengurus rumah, mencuci kainnya sendiri dan kain Tina beserta anak-anaknya, menjemurnya, melipat kain, membersihkan dan merapikan tempat tidurnya sendiri dan juga tempat tidur Tina, memandikan anak-anak Tina, menyuapi mereka makan, dan menidurkan mereka. Itu belum lagi malam-malam menunggu kepulangan Tina dan Winda. Sungguh, pekerjaan mamanya lebih berat dibandingkan seorang pembantu. Belum ditambah lagi ibunya harus memikirkan bagaimana mencari tambahan uang sayur mereka dengan sering tidak tidur malam dengan berprofesi sebagai dukun beranak, karena Tina tidak pernah membantunya dalam hal keuangan dan Winda pun paling banter memberinya seratus ribu sebulan. Sementara Mina jika memberi ibunya sejumlah lima puluh ribu rupiah saja maka se-Indonesia akan tahu, karena sepanjang hari dia akan menceritakannya ke sana kemari.
Beberapa kali Karlina meminta ibunya untuk menegur Tina dengan keras. Jika tidak di tegur, sama saja Mama setuju dengan tindakannya. Kata Karlina mengingatkan ibunya. Tetapi Mamanya tak pernah punya keberanian untuk memarahi anak bungsunya itu. Sementara Karlina sendiri segan memarahi adiknya, karena dari mereka empat beradik Karlina seoranglah yang hanya tamatan SMA, sementara saudari-saudarinya yang lain semuanya pentolan sarjana penuh.
Dari Winda, Karlina tahu jika adiknya Tina itu sudah mengangkat saudara dengan Pajaro. Tetapi menurut cerita anak Tina yang paling kecil berumur lima tahun, ketika di desa Pajaro mereka tidur satu ranjang. Bahkan setelah itu, sewaktu liburan semesteran kemarin mereka pergi selama seminggu ke ibu kota propinsi dan di hotel juga tidur seranjang. Karlina yakin, bahwa hubungan mereka tidaklah sekedar antara guru dan murid ataupun saudara angkat, tetapi sudah sepasang kekasih. Prosesi mengangkat saudara hanyalah kamuflase untuk bisa berdekatan tanpa terlalu dicurigai.
Sekarang Tina bertingkah bak ABG lagi kasmaran; selalu berpakaian necis, rok pendek di atas lutut, bergincu merah dan tebal serta baju you can see. Bau parfumnya dari ujung gang sudah tercium. Kemana-mana selalu bersenandung lagu cinta, ku ketahuan pacaran lagi dan sebagainya. Pulsa telponnya seperti pipa ledeng bocor, karena hampir setiap saat berha-ha-hi-hi terus dengan Pajaro. Bahkan sekarang jangankan memberikan ibunya uang sayur, untuk anak-anaknya pun dia tidak memberi uang jajan lagi. Belum lagi setiap malam keluar, katanya menjenguk murid yang sakitlah, belajar motorlah, undanganlah, pertemuan LSM lah, pergi poto copylah dan puluhan lah-lah lainnya. Cuma memang aneh, karena setahu Karlina potocopy di kota mereka ini tutup jam tujuh malam sementara Tina pulang jam sebelas malam.
Meskipun dia berpacaran dengan murid lelakinya yang sepantasnya menjadi anaknya, Karlina pun sebenarnya bisa memaklumi. Toh banyak juga di dunia ini anak murid menikah dengan gurunya, baik guru laki-laki maupun guru perempuan. Tetapi yang jadi persoalannya, Tina ini sudah bersuami dan punya anak lagi. Jadi di mana harga dirinya sebagai seorang isteri dan wibawa sebagai seorang guru?.
Armandi juga bercerita, jika barang-barang berharga di rumah neneknya sudah banyak yang hilang tak tahu kemana rimbanya. Sementara itu hampir setiap hari Tina selalu saja membungkus kado, selalu saja ada anak muridnya yang berulang tahun. Belum lagi uang Winda dan Mamanya sudah jutaan rupiah yang hilang. Kecurigaan mereka, Tinalah pelakunya. Karena sering mereka memergoki dia memasuki kamar mereka dan mengunci pintu dari dalam. Sehingga menyebabkan mereka tidak berani meninggalkan rumah dalam keadaan kosong jika Tina ada di rumah. Tapi Winda dan ibunya tak pernah punya keberanian untuk menegur Tina secara to the point.
“Bahkan ada yang tak masuk akal,” Cerita Armandi. “Tante Tina diberi seekor kucing berwarna hitam oleh Pajaro. Kucing itu sangat disayangnya. Tak boleh terlambat makan, bahkan di bentakpun tak boleh. Setiap hari kucing itu dimandikan, di sampoo, di lap dengan handuknya sendiri. Ketika tidur, di bawa bersama mereka ke dalam kamar, bahkan diberi bantal dan selimut sendiri.”
“Waduh, apakah itu salah satu tanda-tanda dunia mau kiamat, ya?” Desah Karlina pelan. Sampai seekor kucing jantan yang hitam legam pun menjadi subtitusi cinta.
Akhirnya Karlina meminta pendapat suaminya akan kasus adiknya ini. Suaminya hanya menyarankan, jika hal itu membuat mama nya senang, biarkanlah. Tak baik kita menyakiti hati orang tua. Tetapi jika itu menyakitkan ibunya, maka tegurlah adiknya itu. Jangan merasa sungkan karena Karlina hanya tamatan SMA sementara mereka yang lainnya semuanya alumnus sarjana. Yang penting sebenarnya adalah persoalan benar atau salah. Jika semua orang pintar berbuat salah lalu tak berani di tegur, maka hancurlah dunia ini, kata suaminya. Suaminya tidak mau terlalu mencampuri urusan internal mereka adik-beradik.
Karlina tak punya pilihan, karena hampir setiap hari mamanya mengeluh kurang tidur, capek, sakit, lelah dan bosan setiap hari melihat kelakuan putri bungsunya. Bahkan terakhir tekanan darah mamanya sudah seratus delapan puluh. Sehingga Karlina nekad akan menegur adik bungsunya ini. Meskipun dia sarjana, toh perbuatannya tidak mencerminkan diri sebagai seorang intelektual.
“Aku perlu bicara denganmu.” Kata Karlina ketika adiknya segera memasuki kamar tidurnya begitu melihat Karlina datang malam itu.
“Aku capek.” Seru Tina mencoba menghindar. “Aku mau Tidur.”
“Aku tidak mau tahu kamu capek atau tidak, pokoknya keluar dan aku ingin bicara denganmu.” Tukas Karlina tegas. Perangai buruk adiknya selama ini membuatnya ingin sekali rasanya memelintir tangan adiknya ini.
“Aku bicara tentang hubunganmu dengan Pajaro.” Kata Karlina lagi begitu Tina dengan gontai duduk dihadapannya sambil memencet jerawatnya.
“Inilah yang salah, terlalu cepat curiga dengan …”
“Diaaaammm.” Bentak Karlina. Karena dia tahu benar jika adiknya selalu membantah. Dia memang tidak mau memberinya kesempatan berkelit.
“Aku mau menjelaskan jika…”
“Kamu mengerti bahasa Indonesia, tidak hah?” Bentak Karlina lebih keras lagi. “Kalau aku bilang diam, sebaiknya kamu diam. Kalau masih bicara juga, ku tampar mukamu.” Ancam Karlina tegas. Kemarahannya yang sudah memuncak sampai ke ubun-ubun selama ini, membuatnya berbicara tanpa tedeng aling-aling. Sehingga mau tidak mau Tina tercekat juga melihat wajah kakaknya seperti induk singa terluka.
Begitu Tina tidak berkomentar lagi, maka Karlina memarahinya dari ujung rambut sampai ke ujung kuku. Dari harga dirinya sebagai seorang isteri yang ternoda sampai wibawanya sebagai seorang guru yang tercela. Dari anak-anaknya yang tidak terurus sampai penyiksaan lahir bathin terhadap ibu mereka melihat tingkahnya yang durhaka itu. Dari waktunya yang habis mengurusi Pajaro sampai penghasilannya yang tidak bersisa untuk membiayai kisah kasih mereka yang terlarang. Dari barang-barang yang hilang sampai uang jutaan yang lenyap di rumah mereka. Hampir dua jam Karlina mengomel panjang pendek dan Tina tidak berkomentar sepatah katapun, bahkan sering matanya terpejam-pejam karena di tunjuk-tunjuk oleh jari lentik Karlina. Sehingga ibu mereka yang ikut hadir diruangan itu mengucurkan air mata, namun Karlina tidak tahu pasti apakah tangisnya itu karena kasihan melihat anak bungsu yang di damprat kakaknya atau menangis mengingat perangai buruk anak kesayangannya ini.
Setelah merasa puas mendamprat adiknya, Karlina pun lalu meninggalkannya. Dia tidak mau tahu apa komentar adiknya ataupun mamanya ataupun kakak dan adiknya yang lain. Jika mereka mengatakan dia bodoh, ya wajarlah toh memang pendidikannya cuma sampai SLTA. Tapi sebaliknya mereka yang berpendidikan sarjanapun, perangainya seperti orang tidak sekolah saja. Jadi untuk apa bersusah payah kuliah membuang uang dan waktu juga umur jika perangai lulusannya hanya seperti itu?
Beberapa minggu setelah itu, tidak pernah lagi Pajaro bertandang ke rumah ibunya, namun menurut hemat suami Karlina mereka pasti masih berpacaran. Itu bisa diketahui dari kelakuan Tina yang setiap hari pulang malam dan tidak pernah cukup uang untuk mengurusi anak-anaknya seperti biasa.
Tiga bulan setelah Karlina menguliahi adiknya itu, Tina hamil. Setelah sembilan bulan sepuluh hari, dia melahirkan seorang anak berkulit hitam dan berambut keriting. Bak pinang di belah dua dengan kulit dan rambut Pajaro. Kontras sekali dengan kulit anak Tina lainnya yang putih dan bersih. Karlina dan suaminya hanya saling pandang dan tersenyum, benar kata pepatah ternyata Tuhan memang tidak tidur. Karena anak yang dilahirkan Tina ini membuatnya sepanjang hayat dikandung badan melihat monumen hidup hasil perbuatannya yang salah. Atau dia malah bangga bisa melahirkan seorang anak dari hubungan gelapnya? Hanya Tina yang tahu.

Nanga Pinoh, Pebruari 2007

No comments: