Saturday, October 18, 2008

Cerpen-Makan Malam

Soparong dan Sudin duduk merenung dalam kamar berukuran 4x4 meter di asrama mahasiswa milik Pemda kabupaten ini. Setiap bilik dalam asrama ini diperuntukan maksimal dihuni empat orang mahasiswa. Tiap kamar masing-masing disediakan dua buah tempat tidur bersusun dua. Di kamar ini hanya di isi oleh mereka bertiga, karena asrama mahasiswa ini masih belum terisi full, bahkan ada kamar yang hanya di isi oleh dua orang mahasiswa saja. Mungkin karena tempatnya yang terletak sekitar 6 kilometer dari kampus dan tidak ada kendaraan umum ke arah kampus yang membuatnya kurang diminati, kecuali oleh mereka yang mempunyai kendaraan pribadi.
Bagi Sudin, Soparong, dan Bahtok. Mereka bertiga memilih asrama ini dikarenakan tidak cukup uang untuk menyewa rumah kos yang berada di dekat kampus maupun yang dilewati transportasi umum dan kampus, yang pada umumnya tarif sewanya tidak terjangkau oleh mahasiswa kantong kering seperti mereka bertiga. Sehingga setiap harinya mereka harus menggoyangkan lutut setidaknya sejauh dua belas kilometer pulang pergi dari asrama ke kampus dan pulang lagi ke asrama.
Tiba-tiba Bahtok masuk ke dalam kamar. “Lapar, gue. Mau masak, beras tidak ada. Apa upaya kita bertiga, nih?” Katanya kepada Soparong dan Sudin dengan logat Jakarta sambil memegang perutnya. Dia baru datang dari arah dapur yang terletak di bagian belakang asrama. Meskipun sesungguhnya tidak berasal dari aliran sungai yang sama, mereka berkongsi dalam hal masak-memasak.
“Aku juga lapar sekali. Dari kemarin cuma bergalon-galon air yang masuk ke perut ini.” Desah Soparong lemas sambil memandang ke arah Sudin. Seperti mencari jawaban dari kawan sekamar mereka ini. Apa lagi Sudin merupakan yang tertua di antara mereka bertiga.
“Semua kita lapar” Tegas Sudin. “Kita bertiga memang belum makan dari kemarin pagi.” Katanya lagi sambil melirik arloji di tangannya. Jarum jamnya menunjukan pukul empat sore WIBA. “Tapi saya juga sudah kehabisan akal.”
Ketiganya saling pandang. Mereka sudah berusaha ke sana kemari untuk mencari pinjaman. Selama beberapa bulan terakhir mereka berusaha mencari kerja sambilan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Sudah tiga bulan kiriman uang dari kampung tidak ada. Padahal keperluan hidup dan kebutuhan kuliah tidak bisa di tunda.
“Honormu mengajar di SMP swasta Angin Ribut, bagaimana Rong?” Tanya Sudin. “Apa sudah kamu tanyakan lagi?”
“Sudah tiga bulan ini tidak di bayar. Katanya anak-anak menunggak SPP.” Desah Soparong sedih. “Tapi memang aneh, pihak yayasan kok tidak aktif menagihnya.”
“Apa mungkin mereka memang tidak mau membayar para guru honor?. Toh mungkin saja uangnya mereka pakai sendiri.” Timbrung Bahtok. “Lalu honormu memberi les privat di gang Sentosa, tidak kamu tanyakan?” Lanjut Bahtok lagi sambil melirik Sudin.
“Aku tak enak menanyakannya, aku kan berhenti tidak dengan hormat…” Jelas Sudin. “Lagi pula aku tak respect dengan anak perempuan nya itu.”
“Anak perempuannya yang kamu beri les privat itu dan katamu sering menggoda itu?”
“Uuu…uuu…” Angguk Sudin malu-malu.
“Allaaaa… Mana ada buaya menolak bangkai. Tak usah sok sucilah…”
Sudin menatap kawannya dengan tajam. “Kamu boleh nggak percaya, tapi swear deh. Aku memang tak naksir. Lagi pula aku kan lagi mengejar Sumarni.”
“Ngapain sok setia. Belum pasti juga Sumarni kamu dapatkan. Kan lebih baik membuat cadangan devisa sebanyak-banyaknya. Lepas satu kan yang lainnya siap..” Ledek Soparong.
“Benar itu” celetuk Bahtok meramaikan. “Bapak nya kan kaya, nanti kita-kita nggak bakalan kelaparan lagi kayak gini lagi, hiyakan Rong?” Godanya sambil mengedipkan mata ke arah Soparong.
“Yah, sudahlah gurauannya.” Seru Sudin mencoba menghentikan ledekan kedua kawannya itu. “Lebih baik sekarang kita memikirkan, bagaimana kita harus makan malam ini.”
Kedua kawannya terdiam. Masing-masing jadi teringat jika dua hari ini mereka belum makan. Seperti di komando saja “krrriuuuukkkk…!” perut mereka bertiga berbunyi laksana koor. Ketiganya saling pandang, tersenyum. Senyum yang lemah.
Tiba-tiba terdengar klakson di luar kamar mereka. Sepertinya dari arah pintu masuk asrama. Kebetulan kamar mereka bertiga terletak di dekat pintu masuk utama asrama. “Pak Pos. saya kenal suara motornya…!” Seru Bahtok bersemangat. “Siapa tahu wesel saya datang…”
Walau lemas, ketiganya segera keluar. Dugaan mereka ternyata benar. “Surat untuk Sudin. Apa orangnya ada?” tanya pak pos sambil mengeluarkan setumpuk surat dan memilih satu diantaranya.
“Saya, pak Pos…” Jawab Sudin seraya menuju lebih dekat ke arah pak Pos. ternyata Kilat Khusus. “Tanda tangani dulu…” Kata pak Pos sambil menyerahkan sebuah resi penerimaan kepada Sudin. “Di sini…”
“Saya pikir wesel untuk saya.” Gerutu Bahtok. Pak Pos hanya tersenyum. Setelah Sudin menanda tangani resi penerimaan surat, ketiganya lalu kembali ke kamar. Sudin langsung membuka surat itu, membacanya. Beberapa saat, surat itu dikembalikan kedalam amplopnya. Wajahnya lesu.
“Surat dari siapa sih, Din?” Tanya Soparong. Bahtok pun menatap Sudin menunggu jawaban. Mereka yakin, pasti sesuatu berita yang kurang mengenakan. “Dari Adik saya yang sekolah di Sintang.” Jawab Sudin singkat.
“Ooooohhh…” Kata kedua kawannya dengan wajah lugu.
Sudin tahu pasti, jika kedua kawannya sebenarnya ingin mengetahui berita dalam surat itu. Hal ini tampak dari roman muka keduanya yang mimiknya penasaran. “Adik saya mengatakan, uang jatah saya bulan ini masih dipakainya. Untuk dia berobat…” Jelas Sudin sambil menarik nafas panjang.
“Aahhh…” Desah Bahtok dan Soparong bersamaan. “Jadi bakalan empat bulan kamu tidak dapat kiriman.” Seru keduanya lagi perlahan.
Sudin terdiam. Dia yakin sebenarnya, bahwa adiknya tidak menggunakan uang itu untuk berobat. Tapi untuk berfoya-foya. Karena dia tahu betul perangai adik laki-lakinya itu. Tapi selama ini Sudin tak berani melaporkannya kepada ayah mereka. Lebih-lebih setelah kematian ibu mereka tercinta. Karena ayahnya lebih berpihak kepada adiknya. Dari orang-orang sekitar Sudin tahu, bahwa ayahnya sangat menyayangi adiknya dengan alasan adiknya sangat tampan. Sudin memang tidak banyak menuntut, sudah diijinkan kuliah saja merupakan berkah yang luar biasa baginya. Cuma terkadang bathinnya menjerit, siapa sih yang mau dilahirkan dalam keadaan jelek ke dunia ini? Pasti semua lelaki mau dilahirkan dalam keadaan tampan. Tapi dia tidak berani menceritakannya kepada kawan-kawanya, karena selain tidak mau membuka aib keluarga sendiri juga hal demikian tak akan merubah keadaan.
“Jadi bagaimana kita bertiga, dong?” Tanya Soparong memecah lamunan Sudin. “Rasa lapar ku sudah tak mampu di tahan lagi, nih…”
Sudin menarik nafas panjang, dadanya terasa nyeri. “Ibu asrama tidak mau lagi menanggung kita makan, karena sudah tiga bulan kita tidak membayar. Kawan-kawan juga tidak ada yang bisa meminjamkan kita uang. Di Pontianak ini kita tak punya keluarga yang bisa membantu…” desahnya seperti berbicara pada diri sendiri. Lama dia termenung. “Apakah kita ada barang yang bisa di jual?” Tanyanya tiba-tiba sambil menatap kedua kawannya.
“Barang yang bisa di jual?” Ulang kedua kawannya sambil mengerutkan kening. “Barang apa yang kita miliki sebagai mahasiswa miskin begini?” keduanya seperti berpikir keras. “Eh, sebentar…” Seru Bahtok sambil memandang kedua kawannya. Sudin dan Soparong dengan penuh tanda tanya menunggu kelanjutan kata-katanya. “Saya punya kamera analog, merek Nikon. Apa itu bisa dijual?”
Kedua kawannya tertunduk lesu. Siapa yang mau membeli kamera analog bekas di jaman kamera digital dengan kapasitas megapixel seperti sekarang ini?.
“Paling tidak kita jadikan jaminan untuk meminjam uang…” Seru Bahtok lagi seperti memahami keraguan kedua rekannya.
“Masuk akal juga idemu…” Seru Sudin mengagumi kreatifitas berpikir kawannya. “Tapi kita bawa kemana?”
“Ha…” Seru Soparong tiba-tiba. “Kita bawa saja ke pak Yamin.” Wajah kedua kawannya tiba-tiba cerah. Kalau di bawa ke pak Yamin, pasti bisa. Karena selain kaya raya, pak Yamin juga kalau memberi kuliah Ilmu Budaya Dasar selalu berbicara tentang kebaikan dan membantu sesama yang kesusahan. Dia juga terkenal sangat taat melakukan kegiatan keagamaan.
“Mari kita segera mandi, biar cepat berangkat.” Kata Sudin. “Malam ini kita akan makan sepuas kita…”
Ketiganya lalu bergegas mandi dan setelah selesai mereka cepat berpakaian yang pantas. Untuk sejenak rasa lapar mereka lupakan. “Nanti siapa yang berbicara?” Tanya Bahtok. “Biar Sudin saja…” Usul Soparong.
“OK deh…” Kata Bahtok..
Sudin melirik arlojinya, menunjukan pukul lima sore. Jarak dari asrama ke rumah pak Yamin sekitar delapan kilometer. Dan itu akan ditempuh sekitar dua jam berjalan kaki. “Sekarang pukul lima sore, kita ke sana sekitar dua jam. Berarti kurang lebih pukul tujuh malam kita sudah sampai.” Kata Sudin sambil memperbaiki letak sandalnya.
Mereka bertiga berjalan dengan penuh semangat, rasa lapar tak membuat mereka putus asa. Karena beberapa jam lagi pasti mendapatkan uang, biar sedikit. Bahkan Bahtok dan Soparong berjalan sambil bersenandung ria.
Dalam gang ke arah rumah pak Yamin, sekitar empat kilometer sebelum rumah pak Yamin, keadaan jalan ramai sekali. Rupanya ada resepsi pernikahan. Sudin dan ketiga kawannya dengan susah payah melewati para undangan. Satu jam kemudian, ketiganya sudah berada di depan rumah pak Yamin. Rumah itu begitu besar dan megah. Di halaman rumahnya terlihat dua buah mobil. Satu Nissan Terrano King’s Road dan satunya lagi Honda CRV. Juga beberapa buah motor Honda NSR 600 serta Yamaha V-Ixion.
Setelah beberapa kali mengucapkan salam, seorang ibu-ibu tua keluar menemui mereka. “Cari siapa, Dik?” Tanyanya ramah.
“Pak Yamin, ada Bu?” Tanya Sudin agak canggung. Biarpun dia mahasiswa tingkat tiga, tetapi berada di depan rumah yang begini megah dan mewah, membuatnya sedikit grogi juga.
“Oh, ada. Silakan masuk dulu…” Sapanya ramah. Dengan saling dorong ketiganya masuk. Dari luar mereka sudah terkagum-kagum dengan rumah pak Yamin. Setelah sampai di dalam, ketiganya jadi terpana. Ruang tamunya saja mungkin berukuran 12 x 20 meter. Ada empat set kursi jati ukiran Jepara mengisi ruang tamunya. Di salah satu sudut ruangan terletak sebuah TV LCD Panasonic Viera ukuran 52 inci. Dinding dan deknya di tata dengan warna etnik yang khas.
“Ada apa, Dik?” tiba-tiba sebuah suara berat menyapa mereka. Sudin dan kawan-kawannya yang tadi sedang menoleh ke arah lain jadi terkejut. “Oh, Pak Yamin.” Seru ketiganya serentak sambil mengulurkan tangan menyalami pak Yamin. “Silakan duduk…!” Sapa pak Yamin ramah. “Apa yang bisa saya bantu?”
Ketiga mahasiswa itu saling pandang. Akhirnya Sudin memberanikan diri. “Anu, Pak…Begini..!” Jelas Sudin terpatah-patah. “Maksud kami bertiga ini, mau pinjam uang. Karena kiriman dari kampung belum datang. Kalau kiriman bulanan kami sudah ada, kami segera membayarnya. Ini kamera akan kami tinggalkan sebagai jaminan..” Desah Sudin lega seolah baru melepaskan beban seribu kilogram, karena bisa menyampaikan maksud kedatangan mereka. Meskipun dia tahu apalah artinya sebuah kamera analog bagi orang sekaliber pak Yamin.
Soparong dan Bahtok tidak bersuara, keduanya hanya mempermainkan kancing baju mereka untuk menghilangkan rasa malu. Sementara Sudin dengan hati mendebar menunggu jawaban pak Yamin. Orang tua itu menarik nafas panjang. “Bukannya saya tidak mau membantu. Tapi saat ini saya betul-betul lagi kosong. Mohon maaf, ya dik!” Jelas pak Yamin.
Sudin dan ketiga kawannya seperti disambar petir. Karena harapan terakhir dan satu-satunya inipun kandas. “Saya betul-betul minta maaf, nih Dik. Cuma itu yang bisa saya bantu. Coba adik bertiga cari ke lain saja…” Jelasnya lagi sambil melirik ke arah jam tangan Rolex nya. Sudin mengerti, lirikan jam tangan itu adalah usiran secara halus.
“Tapi…” Seru Sudin ragu. Memelas. “Apakah sedikit pun tak bisa, Pak? Sungguh…! Kami bertiga memang perlu…”
“Saat ini saya betul-betul tak bisa membantu, Dik. Maaf…!” Katanya seraya kembali melirik ke arah jam Rolex berlapis emasnya.
“Kalau begitu, kami mohon diri dulu, Pak. Terima kasih atas waktunya dan maaf karena kami mengganggu Bapak.” Kata Sudin sambil mengulurkan tangan menyalami pak Yamin dan diikkuti oleh kedua rekannya.”Permisi, Pak.” Seru Sudin lagi sambil mengganggukkan kepala. Mereka bertiga lalu meninggalkan rumah pak Yamin tanpa menoleh ke belakang lagi. Tak terasa air mata Sudin menetes, air mata seorang mahasiswa miskin. Untung gelapnya malam membuatnya tak terlihat menangis. Ketiganya diam membisu, berjalan lurus pulang.
“Siapa tadi, Pa?” Tanya isteri pak Yamin yang barusan keluar dari kamar sambil menyisir rambutnya. Dia baru saja selesai mandi. “Anak-anak mahasiswa mau pinjam uang.” Jelasnya.
“Bapak berikan?” Tanya isterinya lagi ingin tahu.
“Tidak…Mereka itu pandai berbohong. Bilang uangnya habis, padahal digunakan untuk hal-hal yang tak berguna…” Tambah pak Yamin pula.
“Oooohhhh….” Desis iserinya dan langsung menuju ke ruang dapur, mengawasi pembantu menyiapkan makan malam untuk mereka.
Sudin dan ketiga kawannya berjalan laksana tentara kalah perang yang lari dari medan perang menyelamatkan diri. Mereka tak banyak bicara. Letih, lapar dan kecewa bertumpuk jadi satu. Setelah empat kilometer, ketiganya kembali melewati resepsi pernikahan. Tiba-tiba wajah Sudin cerah. Kedua kawannya tidak memperhatikannya. “Sebentar…” Kata Sudin sambil menghentikan langkahnya.
“Ada apa?” Tanya Bahtok dan Soparong keheranan melihat tingkah Sudin. Wajahnya serius sekali. Sepertinya ada sesuatu yang sangat penting.
“Kalian berdua ada yang punya uang seribu rupiah, ndak? Tanyanya kepada keduanya. “Uang? Seribu rupiah? Untuk apa?” Tanya Bahtok dan Soparong semakin keheranan.
“Ada, ndak?” Tanya Sudin lagi.
Bahtok dan Soparong segera merogoh saku mereka. Dalam dompet Bahtok hanya ada empat ratus rupiah, itupun recehan. Sementara dalam dompet Soparong ada delapan ratus rupiah, separuh uang kertas separuhnya lagi recehan. “Sini, berikan saya seribu rupiah…” Pinta Sudin. Soparong menyerahkan semua delapan ratus rupiahnya dan ditambah dengan dua ratus rupiah milik Bahtok.
“Kalian berdua tunggu di sini sebentar, ya…” Katanya. “Saya tak lama…” Sudin menerima uang seribu rupiah itu. Dia lalu menuju ke arah kios kecil di pinggir jalan.
Sudin lalu membeli tiga buah amplop ukuran sedang. Kemudian dia meminjam ballpoint dengan pemilik kios, meminta selembar kertas. Lalu menulis “ Selamat menempuh hidup baru, semoga panjang umur dan banyak rezeki. Terima kasih atas makan malamnya. Tuhan memberkati.” Setiap amplop dimasukan tulisan yang sama, lalu kemudian amplopnya di lem. Sudin kembali mendatangi kedua rekannya. Wajahnya cerah. Sehingga kedua rekannya semakin heran. Apakah kawan mereka ini jadi tak waras karena sudah dua hari tidak makan?
“Masing-masing pegang amplopnya…” Kata Sudin lalu menyerahkan dua amplop kepada dua rekannya. Keduanya terheran-heran. “Ikut aku dan jangan banyak komentar…” Tegas Sudin lagi.
Kedua rekannya mengikuti dengan penuh tanda tanya. Sudin mengarah ke tempat penerima tamu resepsi perkawinan. Akhirnya kedua kawannya mengerti. “Tapi….?” Kata Bahtok mau mengatakan bagaimana kalau mereka ketahuan sebagai penyusup. Tetapi kata-katanya tidak diteruskan, karena Sudin sudah menyalami para penerima tamu dan menanda tangani buku tamu. Sudin menuliskan nama samaran, sehingga secara spontan kedua kawannya pun melakukan hal yang sama. Lalu Sudin memasukan amplop ke dalam tempat yang sudah disediakan.
Ketiganya menyambut piring dan sendok yang diserahkan oleh bagian makanan. Lalu mengambil nasi dan lauk pauk secukupnya. Kemudian memilih tempat duduk. Sambil berjalan diantara kursi, mereka melemparkan senyum kepada para undangan yang dilewati.
Bahtok dan Soparong memandang ke arah Sudin setelah mereka duduk diantara para undangan. “Ayolah, cepat makan. Tamu - tamu yang lain sudah pada antri tuh…!” Desis Sudin perlahan, sambil menunjuk ke arah para tamu yang menumpuk di bagian penerimaan tamu. Tanpa banyak bicara lagi ketiganya lalu melahap makanan di piring mereka masing-masing. Setelah makan mereka duduk sebentar, lalu setelah itu meninggalkan resepsi pernikahan.
“Waduh, kenyang sekali saya…” Desis Bahtok sambil mengelus perutnya ketika mereka sudah meninggalkan tempat resepsi.
“Saya juga sangat kenyang…” Kata Soparong. “Betul-betul makanan yang terenak yang pernah kudapat seumur hidupku…” Katanya lagi.
Sudin tersenyum memandang kedua kawannya. “Kenapa tadi ragu-ragu?” Tanyanya kepada kedua kawannya.
“Habis, pergi ke resepsi pernikahan. Padahal kita tidak mendapat undangan…” Desah Bahtok agak sesak nafas karena kekenyangan.
“Siapa yang akan memeriksa apakah kita dapat undangan atau tidak?” Jelas Sudin melirik keduanya sambil tersenyum.
“Benar juga, ya…” Desis Soparong membenarkan.
“Kalian berdua mengambil makanan berapa banyak sih tadi?” Tanya Sudin lagi ketika melihat kedua kawannya sangat kekenyangan.
“Saya rendangnya enam, satenya dua belas. Belum sop dan sayuran lainnya…” Jawab Bahtok.
“Kalau saya, rendangnya delapan, satenya sepuluh dan ayam gorengnya dua potong, belum sayuran lainnya.” Kata Soparong.
“Pantasan… Dasar kalian berdua perut karet…!” Jengek Sudin sambil tertawa.
“Hiya, dong…!” Kata Bahtok lagi. “Habiskan makannya di rapel untuk tiga hari…”
Ketiganya saling pandang. Lalu tanpa dapat ditahan lagi tiba-tiba tertawa. Untung jalanan sudah mulai sepi, sehingga tidak mengganggu pengguna jalan lainnya.
“Inilah suka dukanya jadi mahasiswa miskin.” Kata Sudin. “Tapi yang penting, malam ini kita sudah makan…”
“Makan malamnya sungguh istimewa…” Celetuk Soparong.
“Malam ini kita makan kenyang, besok bagaimana.” Desis Bahtok khawatir.
“Besok urusan besok.” Kata Sudin. “Yang penting malam ini kita sudah pada kenyang, bisa tidur nyenyak dan bermimpi indah.” Tukasnya lagi sambil mempercepat langkahnya yang langsung diikuti kedua rekannya. Asrama mahasiswa tempat kawah candradimuka mereka berada di balik belokan berikutnya.

Nanga Pinoh, Awal Agustus 2006

No comments: