Saturday, October 18, 2008

Cerpen-Mencair

Kirani masih tinggal menumpang di rumah ibunya. Rumah ini merupakan peninggalan almarhum ayahnya, meninggal enam tahun lalu karena penyakit maag akut. Suami Kirani belum mampu membangun rumah untuk mereka. Apa lagi pekerjaannya serampangan, yang penting ada uang halal untuk sekedar menyambung hidup mereka. Suaminya sudah lebih belasan kali mengikuti tes pegawai negeri dan perusahaan swasta, tetapi selalu gagal. Kata kawannya, konon kalau bisa menyediakan empat puluh juta rupiah dijamin pasti lulus. Boro-boro menyediakan empat puluh juta, kata suaminya. Mencari uang belasan ribu perak untuk membeli susu anak mereka saja kepala sudah ke bawah dan kaki ke atas. Lagi pula kalau ada uang segitu, mengapa tak buka usaha saja. Ngapain ikut menyuburkan kakaen di negeri para preman ini?.
Beberapa hari yang lalu, mereka kedatangan nenek Kirani yang sudah berusia seratus lima tahun. Tubuhnya kurus kering dan sedikit membungkuk. Dia paham berbahasa Indonesia, tetapi bahasa dan dialek daerahnya sangat kuat mempengaruhi setiap kata-katanya. Yang sedikit merepotkan adalah tingkah lakunya kembali seperti anak kecil. Nenek Kirani ini datang bersama anak bungsunya. Mereka berdua memang biasa tiga bulan sekali turun dari kampung dan menginap di tempat mereka, untuk menjual karet yang mereka kumpulkan dan uangnya sebagian dibelanjakan sembilan bahan pokok untuk di jual kembali di kampung.
“Mana barang yang ku simpan tadi?” Terdengar suara nenek dengan dialek daerahnya yang sangat khas sedang mencari sesuatu. Dia keluar masuk kamar tidur, terkadang ke dapur, terkadang ke ruang tamu. Nenek hanya memakai kain kemban dan tidak berbaju sehingga payudara tuanya yang sudah kempis berayun tak beraturan, sementara tangan kanannya sibuk memperbaiki susurnya.
Kirani, yang sedang mengiris bawang memandangnya dengan keheranan. Kirani, cucu ketiganya dari anak nomor dua nenek ini sudah mempunyai satu orang putera. Anak Kirani ini merupakan cicit tertua dari sang nenek. “Barang apa yang di cari, Nek?” Tanya Kirani menanyakan barang apa yang sedang dicari neneknya.
“Barang, untuk Dayang Biak…” Jawab neneknya dengan ketus. Yang dimaksudnya dayang biak adalah anak perempuan bungsunya yang saat itu sedang pergi berbelanja ke pasar. Bibi bungsu Kirani ini sudah berusia empat puluh tahun tetapi belum juga menikah.
“Barang apa sih, Nek?” Kembali Kirani bertanya ketika sang nenek kembali ke dapur. “Adalah. Tak usah mau tahu!” Jawab neneknya langsung masuk ke kamar. Kirani hanya geleng-geleng kepala. Maksudnya menanyakannya adalah untuk memudahkan membantu menemukan barang yang sedang di cari sang nenek. Tetapi memang adat nenekya keras kepala. Kalau dia tidak mau mengatakan sesuatu, maka jangan harap bisa mengorek keterangan darinya. Sampai dunia kiamatpun dia akan bungkam seribu bahasa.
Di dalam kamar tidur, nenek mengomel panjang pendek. Karena dinding rumah dan pembatas kamarnya terbuat dari papan dan bagian atasnya terbuka, maka omelan sang nenek sangat jelas terdengar.
“Moyang mengapa sih, Mak?” Tanya Luwis, anak Kirani, yang baru masuk dari arah pintu dapur. Rupanya Luwis sudah pulang dari TK yang memang berada hanya ratusan meter dari rumah mereka. “Seperti orang sakit gigi saja.”
“Ssssstttt….!” Desis emaknya sambil meletakan jari telunjuk di mulut. “Jangan ribut, nanti kamu dimarahinya…”
“Apa sih mama takut dengan si tua bangka itu…” Balas anaknya tanpa mengurangi volume suaranya. Anaknya ini selalu memanggil moyangnya dengan tua bangka, karena selama moyangnya berada di rumah ini, tiada hari tanpa di isi oleh pertengkaran keduanya. Terkadang moyangnya memukul cicitnya ini dengan tangannya, terkadang di cubitnya. Sementara cicitnya membalas dengan mencubit dan menarik bagian dada neneknya yang sudah melar dan jarang ditutupi baju itu. Terkadang juga keduanya berkejar-kejaran sambil masing-masing memegang kayu. Kalau sudah terjadi demikian, maka Kirani cepat menarik anaknya dan ibunya Kirani cepat memeluk emaknya.
“Mengapa sih, Bi?” Tanya Susi yang juga barusan datang dari menjemur kain di tanah. Susi adalah keponakan Kirani dari sebelah almarhum ayahnya. Ibu Kirani berasal dari sungai Ketungau anak sungai kapuas sebelah kiri, sementara ayah Kirani berasal dari sungai Ambalau. Bahasa mereka berbeda, sehingga komunikasi dalam rumah lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi Kirani paham kedua bahasa daerah itu.
“Ah, moyang kalian itu sedang mencari barangnya yang hilang.” Jawab Kirani.
“Barang apa sih, Bik” Tanya Susi lagi, penasaran.
“Entahlah. Tadi juga sudah kutanyakan, tapi moyang kalian tak mau menjelaskan.” Tukas Kirani “Ah, sudahlah. Jangan pikirkan moyangmu, lebih baik sekarang kita berdua cepat menyelesaikan masakan. Kalau nenekmu pulang nanti, dia bisa segera makan, dia pasti sudah lapar dan kelelahan…” Kata Kirani menjelaskan, karena ibunya sudah berangkat dari tadi pagi menjual sayuran di pasar.
“Dasar moyang pikun…!” Seru Luwis sengaja keras-keras.
“Anak Setan…” Balas moyangnya dengan suara tak kalah keras dari dalam kamar.
“Moyang yang anak Setan …” Teriak Luwis lagi membalas ketika mendengar cacian moyangnya.
“Sudah. Sudah..!” Kata Kirani mencoba menghentikan anaknya. “Jangan kamu begitu, dia moyangmu. Kualat, tahu.”
“Kualat apaan. Dasar moyang jelek. Kurus kering tinggal kulit saja. Tak tahu diri…” Tukas Luwis beruntun, sengit. “Kenapa tak cepat mati saja. Dasar jelek.”
“Sudah…!” Tegur Kirani lebih keras sembari mempelototi anaknya. Luwis cemberut. Dia lalu mengambil gelas plastik di atas rak piring untuk mengambil air minum. Begitu dia menarik gelas, beberapa barang yang lain berjatuhan.
“Luwis, Luwis…” Desah Kirani sambil menggelengkan kepala. “Sampai kapan kamu bisa berhati-hati. Kamu kan sudah TK Nol besar, lho.”
“Barang-barang ini memang bodoh. Mengapa harus jatuh…” Kata Luwis sewot.
Kirani kembali menggeleng-gelengkan kepalanya. “Mengapa kamu cenderung bodoh, sih. Tidak bisakah berlaku lembut dan sedikit bersabar”
“Anak Setan … Pasti dia yang mengambil barangku…” Tiba-tiba terdengar suara tuduhan moyangnya dari arah belakang dan langsung menunjuk ke arah Luwis. Rupanya tanpa mereka sadari sang nenek sudah keluar dari kamar tidurnya.
“Moyang sendirilah yang anak Setan. Aku kan cicit moyang. Kalau aku setan kecil, berarti moyanglah setan besarnya.” Balas Luwis tak kalah marahnya. Memang Luwis masih TK nol besar, tetapi dia sangat lancar berbicara dan berkata-kata. Bahkan cukup mengherankan, karena pada usia sembilan bulan dia sudah lancar berbicara dan sudah bisa berjalan.
“Pasti cicit ini yang mencurinya. Dia sering masuk ke kamarku…” Tuduh nenek Kirani lagi sambil memandang Luwis dengan marah. “Memang dialah pencurinya…”
“Dasar moyang tak tahu diri. Cepat mati saja, ngapa sih…!” Bentak Luwis tak kalah sengitnya.
“Cicit yang ndak tahu diri…!” Balas moyangnya juga tak mau kalah. “Dasar cicit gendut, tauke kulat karet. Perut besar. Dasar gentong …” Katanya sambil melotot ke arah Luwis. Memang tubuh Luwis gendut dan perutnya berselulit.
Luwis tak bisa lagi menahan amarahnya. Dia melompat ke arah moyangnya dan mendorongnya ke arah pintu kamar tidur, sehingga tubuh kurus moyangnya tersandar pada daun pintu kamar. Merasa diri terjepit, moyangnya lalu menggigitnya. Luwis menjerit terkena gigitan moyangnya yang sangat keras. Karena kesakitan, Luwis menunduk dan membalas menggigit juga. Sebentar saja keduanya sudah perang gigit-menggigit, seperti anggota dewan yang lagi bertengkar berebut proyek.
Dengan sigap Kirani melompat dan segera menarik tangan Luwis, tetapi gigitannya tetap melekat di tangan kiri moyangnya. “Eh, sudah. Sudah. Kualat kamu. Itu moyangmu…” Seru Kirani sambil tetap berusaha menarik tangan anaknya agar gigitan Luwis pada tangan moyangnya terlepas.
Karena gigitannya tetap melekat sementara nenek Kirani sudah menjerit-jerit kesakitan, akhirnya Kirani mengelitiki Luwis di ketiak kiri dan kanan. Karena kegelian, barulah gigitan Luwis lepas.
Tapi sungguh diluar dugaan, begitu gigitan Luwis lepas, giliran sang moyang yang kembali menyerang dan menggigit tangan Luwis. Kini Luwis yang menjerit kesakitan dan tangannya menampar wajah moyangnya berkali-kali.
Kirani dan Susi berteriak-teriak sambil berusaha melerai keduanya. Sambil berteriak kedua wanita itu mencoba melepaskan perang gigit antara moyang dan cicit ini. Teriakan keduanya mengundang para tetangga yang keheranan mendengar teriakan dari arah rumah mereka. Sehingga satu persatu mereka berdatangan.
“Ada apa? Ada apa?” Bertubi-tubi para tetangga yang datang kesitu menanyakan apa yang terjadi, sambil membantu melepaskan adu gigit ini. Pada waktu itu kebetulan emaknya Kirani juga pulang dari pasar.
“Ada apa, Mak?” Tanyanya kepada emaknya ketika dia melihat moyang Luwis ini menangis sesungukan.
“Anak setan itu. Menggigitku…” Katanya sambil menunjuk ke arah Luwis. Sementara yang ditunjuk juga sedang menangis.
“Apa yang terjadi di sini…?” Terdengar sebuah suara lain yang baru masuk dari arah pintu depan. Para tetangga yang berdatangan juga memberikan jalan kepadanya untuk masuk.
“Dayang biak. Cicit ini menggigit dan memukulku…” Seru moyang Luwis begitu mendengar suara anak perempuan bungsunya. Kembali tangisnya mengisi ruangan. “Dasar anak setan. Memang anak setan …” Katanya lagi sambil terus sesungukan.
Mendengar neneknya mengatakan puteranya anak setan, Kirani hanya tersenyum saja. Soalnya kalau di pikir pikir dan diurutkan, jika Luwis adalah anak setan berarti Kirani yang melahirkan Luwis juga setan. Kalau Kirani setan, berati emaknya juga setan. Sedangkan jika emaknya setan, berarti moyangnya ini juga setan. Dasar nenek memang sudah pikun, bathin Kirani.
“Apa sebenarnya yang terjadi sehingga moyang dan cicit sampai saling menggigit begini?” tanya emak Kirani sambil melihat ke arah Kirani. Pandang mata para tetangga yang hadir di situpun pada mengarah kepada Kirani, semuanya menanti penjelasan Kirani.
“Entahlah, Mak…” Jawab Kirani juga kebingungan. “Tadi saya sedang masak. Saya lihat nenek keluar masuk kamar sambil mengomel panjang pendek. Sepertinya ada barang yang dicari…” Semua yang ada di situ pada menahan nafas. “Lalu…” lanjut Kirani. “Saya tanyakan pada nenek, apa yang dicarinya. Dia hanya menjawab. Barang. Barang yang di simpannya untuk Dayang Biak.. Lalu tak lama setelah itu, Luwis masuk. Dia juga bertanya kepada saya, apa yang dicari moyangnya. Lalu mendengar suara Luwis, moyangnya keluar dan langsung menuduh Luwis yang mengambil barang itu…”
“Barang apa sih yang emak cari itu?” Tanyak mamak Kirani kepada moyang Luwis.
“Itu, barang yang di beli bapak Luwis tadi…” Jawabnya singkat. Semua yang ada di situ pada bingung. “Barang yang bagaimana, Nek?” Tanya Kirani penasaran. “Nama barangnya itu apa?”
“Ndak ku tahu namanya. Tapi rasanya manis, enak…satu ku makan, lalu satunya ku simpan untuk Dayang Biak….Kalau bukan anak setan itu yang mencurinya, pasti sudah kuberikan pada Dayang Biak.” Jelas moyang Luwis kembali menangis.
“Dasar moyang tak tahu malu. Menuduh sembarangan. Coba pulang saja ke kampung…!” Sergah Luwis tak mau terima.
“Sudah…Sudah…Jangan kamu layani, moyangmu itu sudah pikun…” Bisik Kirani sambil menenangkan anaknya. “Tak baik bersikap kasar dengan orangtua, apalagi itu moyangmu sendiri.”
“Emak benar-benar ndak tahukah nama barangnya?” Tanya mamak Kirani lagi.
“Ndak…!” Jawabnya dalam dialek daerah.
“Apakah bentuknya ingat?” Tanya anak bungsunya.
Moyang Luwis menatap anak bungsunya dengan tatapan nanar. “Barangnya sebesar lengan anak kecil. Rasanya manis. Ada tangkainya…” Jelasnya sebagian dalam dialek daerah..
Yang hadir masih pada kebingungan. “Coba cari bapaknya Luwis, dia pasti tahu. Kan dia yang beli…” Celetuk seseorang dari para tetangga.
“Wah, benar juga. Mana bapaknya Luwis, panggil dulu…” Seru yang lainnya.
“Bapaknya Luwis membeli bibit ikan ke pasar tadi.” Jelas Susi. “Sampai sekarang belum pulang.” Mereka akhirnya terdiam. Makin bingung, barang apa yang di cari sang nenek. Susahnya lagi, nama barangnya juga sang nenek tak tahu.
“Ehh!” celetuk Kirani tersentak. Rupanya dia mengingat sesuatu.. “Nek, apakah barangnya dingin?” Tanya Kirani.
“Benar, Cuk.” Jawab neneknya. “Barangnya memang dingin.”
Mendengar jawaban neneknya, Kirani jadi tersenyum. “Lalu barang itu nenek simpan di mana?” Tanya Kirani ingin meyakinkan.
“Dalam kamar.” Jawabnya. “Apakah di dekat jendela?” Tanya Kirani lagi untuk memastikan.
“Hiya” Jawab neneknya singkat dalam dialek daerah. Sehingga Kirani semakin yakin akan dugaannya. Dia langsung menuju ke dalam kamar neneknya. Emak Kirani, Dayang Biak, Luwis, Susi dan beberapa tetangga juga tanpa sadar mengikutinya. Moyang Luwis juga mengekor di belakang mereka.
“Apakah di dekat jendela sini, Nek?” Tanya Kirani sambil memandang neneknya.
“Benar…Ku bungkus pakai kain itu…” Jawab neneknya sambil menunjukan sehelai kain yang basah.
Kirani tersenyum. Di ambilnya kain yang basah itu. Lalu ditunjukan kepada nenek, emak, bibinya dan beberapa tetangga yang ikut masuk.
“Begini, semuanya…” Seru Kirani sambil tersenyum. Sehingga membuat yang hadir semakin penasaran. “Beberapa hari yang lalu, bapak Luwis ini mengatakan kepadaku bahwa dia ingin membelikan moyang Luwis ini es lilin. Karena di kampung pasti tidak ada orang jual.” Kirani berhenti sebentar untuk menarik nafas. “Jadi mendengar penjelasan nenek yang serba kabur tadi, saya lalu teringat. Pastilah es lilin itu yang dimaksud nenek…” lalu Kirani menoleh ke arah neneknya. “Nek, es lilin itu terbuat dari air dengan memakai alat bernama kulkas atau juga freezer supaya airnya beku dan dingin. Tetapi ketika dia terkena udara yang lebih panas darinya, maka dia akan mencair. Sementara es lilin nenek itu, nenek bungkus memakai kain ini dan diletakan di dekat jendela sini. Padahal nenek sendiri lihat, sinar matahari langsung mengenai jendela ini. Sehingga es nenek ini sudah mencair. Lihat, kain ini basah oleh lelehannya. Dan ini ini lidi yang jadi tangkainya masih ada di sini…” Jelas Kirani sambil menunjukan kain itu dan tangkai es lilin nya kepada neneknya.
“Tapi tadi masih di sini. Aku sendiri yang membungkusnya” Tukas moyang Luwis tetap belum mengerti.
“Ya, nek.” Jelas Kirani. “Tadi memang di sini. Tapi karena terkena panas sinar matahari siang ini, es nenek itu sudah mencair. Nih, rasakan kain ini…!” Tukas Kirani sambil menyerahkan kain bekas lelehan es lilin dan tangkainya. Moyang Luwis menerima kain dan tangkai es lilin itu. Wajah lugunya keheranan dengan kain yang basah itu. Di pegangnya, di rabanya, di remasnya, di ciumnya.
“Benar, Nek…” Seru mereka yang lainnya. “Jika es lilin itu yang nenek ributkan, pastilah sudah mencair terkena sinar matahari yang masuk lewat jendela ini.”
“Setan, Iblis, kuntilana, Antu…” Komentar moyang Luwis. “Ku kira Luwis yang mencurinya…”
“Jadi es lilin mencair ini yang emak ributkan…” Desis Dayang Biak sambil mengambil kain basah itu dan tangkai es lilin nya dari tangan emaknya. Masih terlihat jelas bekas-bekas es lilin yang mencair.
Suasana jadi hening sejenak. Yang hadir disitu saling pandang. Lalu tanpa dapat ditahan lagi mereka tertawa terbahak-bahak, sampai ada yang mengeluarkan air mata saking gelinya dengan tingkah pikun si moyang.
“Dasar moyang pikun…” Gerutu Luwis sambil keluar dari dalam kamar moyangnya. Mereka yang lainpun ikut keluar sambil tak hentinya tertawa. Mereka semua jadi geli, ternyata es lilin yang mencair mampu membuat moyang dan cicitnya jadi saling serang dan saling gigit. Jadi tidak heran jika orang bisa berkelahi massal karena berebut lahan parkir atau memperebutkan proyek.

Nanga Pinoh, Januari 2007

No comments: