Saturday, October 18, 2008

Cerpen-Tiga Kali Rugi


“Panas sekali, ya.!” Celetuk Fredy sok ramah, sambil melirik pengendara motor Kharisma X 125 CC yang sudah lebih dulu antri di sampingnya, agak ke depan. Mereka antri dalam dua baris. Fredy kebetulan berada paling belakang, masih di dekat mulut jalan. Ke arah mesin pompa pengisian masih sekitar 80 meter lagi.
“Ya, panas sekali nih.” Jawab orang itu sambil mengipaskan tangannya ke arah lehernya. Keringat orang itu juga seperti kain cucian di peras.
“Sudah lama antrinya, Pak?” Tanya Fredy kepada pengendara Kharisma X. “Baru, Pak. Tapi yang di depan sana itu katanya sudah antri sejak satu jam yang lalu.” Jelasnya.
“Waah, sudah cukup lama juga.” Komentar Fredy. “Jangan sampai saja BBM nya kehabisan…”
Udara memang sangat panas, belum lagi ditambah dengan bau asap kendaraan, asap rokok, bau ketiak dan debu jalan. SPBU Katebelece ini terletak 17 kilometer dari kota kabupaten dengan kondisi jalan sepanjang tujuh belas kilometer itu seperti bekas perang Iran-Irak. Uang DAK dan DAU yang ratusan miliar rupiah yang dikucurkan oleh Pemerintah Pusat belum mampu untuk memperbaiki jalan ini, meskipun para pemenang tendernya berlomba-lomba membeli mobil Nissan Terano dan Toyota Fortuner begitu proyeknya selesai.
Fredy sudah beberapa kali berhenti di SPBU di dalam kota, tetapi selalu berhadapan dengan tulisan “Bensin Habis!" Akhirnya dengan sangat terpaksa Fredy menuju ke SPBU yang terletak di luar kota pada ruas jalan antar kabupaten ini.
“Hampir setiap hari kita seperti ini, ya. Antri BBM…” desis seorang bapak dengan motor bergincu, plat merah.
“Bukan hanya kita di sini saja, Pak. Tapi seluruh Indonesia…” Tambah seseorang yang mengendarai Kawasaki Ninja. “Hampir setiap malam saya lihat di Teve.”
“Entah sampai kapan kita begini, ya…” desis seorang ibu berperawakan subur di sebelah kiri Fredy dua motor di depan pengendara Kharisma X. Tubuh si ibu seperti etalase berjalan, karena gelang emas pelak becak dan perhiasan lainnya bergelantungan saking banyaknya. “Padahal saya meninggalkan anak kecil di rumah.” Sambung si ibu lagi.
“Masih syukur kalau kita bisa dapat BBM. Kalau sempat sudah antri begitu lama lalu tak dapat bensin lagi, weah, tak bisa kubayangkan…” celetuk Fredy menambahkan.
“Ya, mau tidak mau ke kios pinggir jalan lagi lah. Mau kemana lagi?” Bisik seorang pemuda yang kurus kering seperti kurang gizi atau mungkin juga pecandu narkoba. Dia tak berani berbicara keras, takut terdengar sampai ke depan. Konon katanya para preman di SPBU sini tak kenal ampun.
“Padahal kalau di kios itu bensinnya sudah di campur minyak tanah.” Bisik seorang pengendara Jupiter MX sambil mendorong tunggangannya dengan kaki seperti mengayuh sampan.
“Jangankan di kios di pinggir jalan, di SPBU inipun sebenarnya sudah dicampur minyak tanah.” Timpal seorang bapak yang mendorong Suzuki Smash 110 CC nya secara perlahan. Takut kedengaran para preman SPBU. “Saya dapat bocoran, jika setiap 200 liter bensin mereka akan mencampurnya dengan 20 liter minyak tanah.” Tambah bapak itu lagi.
“Jadi kalau begitu, berapa banyak yang dicampur lagi setelah sampai di kios?” Tanya seorang pemuda yang mengendarai Honda Supra Fit, penasaran.
“Wah, jika mendengar cerita Bapak ini, bisa sampai 50 persen dong.” Timpal seorang pemuda dengan seorang wanita cantik berambut panjang lurus berjalan di sampingnya, mungkin pacarnya.
“Itu memang benar.” Timbrung seorang pemuda yang mendorong sepeda motor Honda Win yang sudah sangat butut. “Saya pernah mengujinya. Saya celupkan jari kedalam tangki berisi bensin dan saya tiup. Ternyata jari saya masih basah. Yang membuatnya basah itu adalah minyak tanah yang tersisa, kalau bensin dia akan kering seketika bila terkena angin tiupan.” Jelasnya panjang lebar.
“Dari mana kamu tahu teknik pengujian yang praktis seperti itu?” Tanya pemuda dengan cewek cantik di belakangnya tadi dengan wajah lugu.
“Beberapa tahun yang lalu saya menjadi pengusaha angkutan sungai menggunakan speed board dengan mesin ber BBM bensin. Jika sedikit saja tercampur minyak tanah, maka mesinnya akan rewel. Dengan membaui dan mencelupkan jari seperti itu, kami para motoris akhirnya jadi berpengalaman.” Jelas pemuda itu lagi. Para pengendara yang lain hanya bergumam “Ooooo…”
“Sebenarnya masalah BBM di kios pinggir jalan bukan hanya harga yang lebih mahal dan dicampur minyak kerosene.” Celetuk Bapak yang mengendarai Suzuki Smash. “Tetapi takarannya juga, kurang.” Tambahnya setengah berbisik. Mereka sudah semakin mendekati tempat pengisian. Mungkin beberapa meter lagi.
“Betul..!” Tegas pemuda pengendara Supra Fit sambil melirik kearah pompa SPBU dengan sudut matanya, takut kedengaran. “Saya selalu melihat bahwa takarannya selalu kosong. Bayangkan, kalau seribu kali saja hal itu dilakukan, berapa tuh kerugian konsumen?”
“Sebenarnya, ada yang lebih licik dari itu.” Potong Fredy. “Banyak dasar takaran BBM yang sudah di las dengan dasar tambahan. Jadi biarpun tampaknya penuh, tetap saja takarannya kurang.”
“Waahhh… Kacau itu.” Seru pemuda pengendara Kharisma X 125 dengan suara meninggi tanpa sadar, sehingga yang lain-lainnya pada melototkan mata. “Apalagi kalau permukaannya tidak penuh, bisa sampai 20% tuh kurangnya.” Tambahnya dengan menurunkan volume suaranya.
“Hhuuuu….!” Tiba-tiba obrolan mereka dihentikan oleh desahan kecewa beberapa pengendara sepeda motor di depan mereka. Tampaknya sesuatu yang sangat mengecewakan terjadi.
“Ada apa?” Tanya Fredy kepada pengendara yang persis di depannya.
“Sepertinya bensin habis…!” jawab yang di tanya dengan nada kesal.
“Hhuuuuhhh…” Desah Fredy juga dengan kesal sambil menggeleng-gelengkan kepala ketika melihat para pengendara di depan pada mendorong motor mereka melewati tempat pompa bensin tanpa melakukan pengisian.
“Harus ke kios di pinggir jalan lagi, nih…” Seru pengendara motor yang lainnya dengan lesu. “Padahal harganya sudah berkali-kali lipat.” Lanjutnya lagi sambil menjalankan motornya perlahan mengikuti yang lain. Jarak ke arah tepi jalan masih sekitar seratusan meter.
Fredy juga menjalankan Honda Super Cup buatan tahun 70-an miliknya mengikuti pengendara lain. Di kiri-kanan dan depan belakangnya terdengar orang berbisik perlahan, takut terdengar para penjaga SPBU yang tubuhnya penuh tatoo dan wajahnya garang-garang. Fredy juga heran, di mana mana penuh orang yang bertingkah seperti pemilik eksklusif negeri ini. Memangnya negeri ini negaranya para preman?
Setelah keluar dari SPBU, para pengantri tadi mencari tempat pengisian bensin masing-masing. Fredy menurunkan standar kaki motornya, lalu memutar kunci sadel untuk memeriksa bahan bakar, membuka penutup tangki minyak dan berusaha mengintip sisa bensin dalam tangkinya.
Fredy tidak melihat apa-apa. Motor lalu digoyang-goyangnya, baru terdengar sedikit gerakan benda cair. Wah, tinggal sedikit, pikir Fredy. Kalau segini, paling jauh juga mampu menempuh tiga kilometer.
Tutup tangki BBM ditutup, sadel ditekan kebawah dan kunci di cabut, Fredy lalu menginjak kick starter nya dengan kekuatan sedang beberapa kali, setelah kaki cukup pegal barulah motor bututnya batuk-batuk dan mengaum perlahan. Dimainkan nya gas nya secukupnya dan setelah itu menekan pedal gigi satu. Sambil perlahan menaikan gas motornya, Fredy lalu meluncur kembali ke arah kota.
“Pheeettt…!” tiba-tiba terdengar suara klakson membahana dan beberapa detik kemudian sebuah truk Hino dengan suara bergemuruh menggetarkan bumi memotong Fredy.
“Sialan.!” Omel Fredy dengan refleks membanting motornya ke arah kiri. Untung jalanan kosong. “Dasar pengemudi ceroboh, mau menang sendiri…!” Maki Fredy lagi, karena sekilas dia melihat sopirnya tadi melaju sambil menghitung lembaran uang ditangannya.
Fredy kembali menjalankan motornya, kecepatannya sekitar 40 km perjam. Itupun sudah membuat motornya terkentut-kentut. Di kiri kanan jalan bertebaran bangunan Ruko yang masih baru. PEMDA kabupaten yang baru dimekarkan ini banyak menyewa ruko ruko ini sebagai kantor dinas. Kata Bupati yang baru terpilih melalui Pilkada kemarin, hitung-hitung memberikan pemasukan kepada rakyat. Fredy hanya tersenyum dalam hati, karena dia tahu pasti rakyat mana yang menuai uang.
Setelah beberapa lama, di arah depan Fredy melihat di sebelah kiri ada gerbang, pertanda di belakang gerbang itu ada sebuah jalan. Tiba-tiba “nggguuuunggg….!” Dari arah belakang sebuah Jupiter Z dengan pengendara berboncengan memotong Fredy dan “Siiiuuut…” langsung berbelok ke arah pintu gerbang.
“Ala Mak….!” Teriak Fredy sambil membanting motornya ke arah kiri karena hampir saja menabrak pengendara motor yang tiba-tiba berbelok itu. Tapi malang bagi Fredy, tanah di sebelah kiri itu rupanya berpasir, sehingga tanpa dapat di tahan lagi motornya terus melaju menuju parit. Sementara pengendara motor yang memotongnya itu terus melaju seolah apa yang dilakukannya adalah persoalan biasa saja.
Dengan sigap Fredy melompat ke tepi. Dia berhasil menyelamatkan diri, tetapi motornya terjerembab ke dalam parit. “Hampir saja..” Desis Fredy sambil mengusap sikunya yang terasa sakit karena terhempas ke atas tanah ketika dia melompat tadi. Darah menetes dari siku kurusnya yang terluka bergesekan dengan tanah berpasir.
Beberapa orang yang berada di sekitar lokasi Fredy terjatuh segera mendatangi. Ada beberapa orang laki-laki dari rumah-rumah di dekat itu juga turun dan menuju ke arah Fredy. Mereka sebagian menolong Fredy bangun dan yang lainnya berusaha megeluarkan motornya dari dalam parit. Paritnya cukup dalam sehingga perlu beberapa waktu baru mereka berhasil menarik motor itu. Motornya berlepotan lumpur.
“Anak tadi itu paling juga baru masuk SMP…!” celetuk seorang Bapak berbaju kotak-kotak sambil memarkirkan motor Fredy.”
“Memang…!” Tambah Bapak yang berbaju merah. “Tidak pakai helm lagi…” Katanya sambil mendekati Fredy. “Ndak apa-apa, Pak?”
Fredy menggelengkan kepala sambil melemparkan senyum kepada Bapak baju merah. “Terima kasih semuanya, Bapak-Bapak…” Seru Fredy terharu, karena ternyata rasa sosial orang Indonesia belumlah semuanya hilang tergerus jaman.
“Negara kita nih payah.” Seru bapak yang bertopi lebar. “Anak-anak sebesar itu kok dibiarkan pakai motor. Tapi polisi tidak menilangnya, padahal saya yakin dia tidak punya SIM.”
“Allaaa, Pak…!” Celetuk Bapak berbaju merah. “SIM kan gampang, bayar saja sekian, beberapa menit kemudian SIM nya keluar. Mana ada tes praktek segala.”
“Betul sekali, Pak.” Kata bapak berbaju biru. “Menurut anak saya yang kuliah di Amerika, di sana anak presiden saja kalau tidak lulus tes mengendara, tidak diberikan SIM.” Ceritanya dengan nada bangga karena anaknya kuliah di Amerika. “Tapi di sini lain. Jangankan anak presiden, anak ketua RT saja kalau punya duit SIM nya gampang keluar. Biarpun belum cukup umur.”
“Itulah yang saya herankan…” Desis seorang laki-laki yang berdiri di belakang Fredy. “Amerika Serikat saja yang kita anggap negara kafir serta bertebaran geng mafia saja bisa lebih tertib dan maju dari kita. Masak negara kita yang katanya negara hukum kok bisa lebih amburadul dan penuh KKN.”
“Sebenarnya orang tuanya juga salah, mengapa mereka mengijinkan anak sebesar itu memakai motor ke jalan raya…” Timbrung Fredy.
“Bapak seperti tidak tahu saja…!” Tukas Bapak berbaju kotak-kotak. “Sekarang kan banyak pemekaran wilayah. Juga ada uang DAU dan DAK dan untuk sekolah ada uang BOS dan ada beasiswa serta JPS segala untuk masyarakat miskin. Belum lagi uang proyek yang jumlahnya ratusan milyar dari dana DAK dan DAU serta bantuan hibah dari luar negeri. Sehingga hujan uang bertaburan di mana-mana…”
“Tapikan tidak ada hubungannya dengan anak tadi…!” Komentar seoarang Bapak yang berdiri di sebelah kiri Fredy.
“Ada dong.” Seru Bapak berbaju kotak-kotak. “Bagi mereka yang mengelola proyek kan gampang mengaturnya. Asalkan dia bisa membuat SPJ nya, bereslah barang itu. Sehingga uang itu terkadang bukan pada peruntukannya, bisa saja untuk dirinya sendiri. Jadi tak heran banyak pegawai yang mampu membelikan anak-anaknya kendaraan seperti motor mahal dan mobil yang sesungguhnya diluar kemampuan gajinya.”
“Lalu hubungannya dengan anak tadi?” Tanya Bapak tadi masih penasaran.
“Anak tadi saya tahu benar, dia anak sebuah kepala Dinas.” Jelasnya sambil menatap bapak-bapak yang lainnya. “Karena uang itu diperoleh Bapaknya tanpa memeras keringat, maka memakainya pun suka-suka.”
“Benar itu…!” Seorang Bapak yang dari tadi tidak pernah berkomentar. “Pertanggungan jawaban uang proyek sekarang kan bukan bangunan fisik, tapi hanya beberapa lembar kertas. Biarpun bangunannya tidak selesai ataupun uangnya tidak sampai, yang penting ada pertanggung jawaban dalam selembar kertas, selesailah sudah…”
“Saya setuju…” Timbrung seorang Bapak yang bertubuh kekar. “saya mendengar selentingan, tahun kemarin uang bantuan buku untuk kabupaten ini ada dua belas miliar. Yang mengelolanya adalah kepala Dinas dan dua orang kepala bidang. Saya mendengar mereka mendapatkan fee dua puluh persen. Jadi kalau di hitung-hitung dari jumlah dua belas milliar itu masing-masing mereka mendapatkan uang cash delapan ratus juta rupiah tanpa mengeluarkan setetes keringatpun. Bayangkan itu. Jika hanya mengharapkan gaji pegawai golongan III, sampai dunia kiamat pun tidak akan pernah kesampaian.”
Fredy merasa diskusi spontan ala debat kusir ini bakalan panjang, padahal dia harus segera mengisi BBM. “Waduh, bapak-bapak. Mohon maaf nih, aku harus segera pergi…” Seru Fredy memotong diskusi spontan mereka.
“Silakan…Silakan…” Jawab mereka hampir serentak. “hati-hati saja…”
Fredy pun lalu menaiki motornya dan menghidupkannya, normal. “Terima kasih semuanya…!” Seru Fredy sekali lagi sambil dengan perlahan menjalankan motornya.
“Ya…Ya…Silakan..!” Seru mereka lagi.
Fredy pun kembali meluncur ke arah kota. Kendaraan tidak terlalu ramai. Mungkin karena panas daerah khatulistiwa ini yang membakar kulit atau mungkin juga masyarakat enggan keluar karena harga BBM yang meroket ke langit.
Fredy melihat semakin ke arah kota, kios-kios BBM bertaburan dikiri kanan jalan. “Aneh…” Pikir Fredy. “di SPBU selalu kehabisan minyak, tetapi kios-kios ini kok jumlahnya beratus-ratus tidak pernah kekurangan minyak. Apanya yang salah?”
Fredy hanya menggelengkan kepala sendiri. Jika ada permainan, mengapa tidak di tangkap. Padahal sudah jelas BBM di SPBU selalu kosong, mengapa di kios begitu banyak. Memangnya para pengelola kios itu tidak membeli dari Pertamina tetapi punya kilang minyak sendiri? Ataukah mereka mempunyai pipa bawah tanah dari pipa di Kalimantan Timur yang kencing beberapa tahun yang lalu itu?
Di depan Fredy melihat sebuah kios yang cukup besar, pengendara motor juga ramai mengunjunginya. Bahkan beberapa orang yang tadi ikut antri di SPBU terlihat diantara orang-orang yang mengisi minyak di kios situ. Terlihat jelas plang namanya “KIOS BBM KAKAEN.” Fredy pun membelok kan Honda butut tahun 70-an nya ke situ.
“Ketemu lagi..” Seru Fredy sambil melemparkan senyum kepada seorang Bapak pengendara Kharisma X. Bapak itu hanya membalas dengan senyuman. “Berapa liter, pak? Tanya penjaganya kepada pengendara Kharisma X. “Tiga liter…” Setelah di isi BBM dan membayar, bapak itu pun pergi. “Saya duluan, ya…” Kata sambil tersenyum ke arah Fredy. Fredy juga membalas dengan anggukan kepala.
Beberapa lama kemudian, tibalah giliran Fredy. “Berapa liter, Pak?” Penjaga itu menanyakan pertanyaan yang sama. “Tiga liter saja.” Jawab Fredy. Dari pada bolak balik mengisi, bagusnya sekalian.
“Berapa duit?” tanya Fredy setelah motornya selesai di isi. “delapan puluh ribu, Pak…!” jawab pegawai kios. Hampir saja Fredy terloncat dari motornya, karena apa yang di dengarnya bagikan petir di siang bolong. Dia lalu mengeluarkan dompetnya, ternyata uang yang ada di situ hanya lima puluh ribu lebih sedikit.
“Waduh, uangnya kurang nih…!” Jelas Fredy malu-malu. “Bisa ndak saya bayar lima puluh ribu dulu, sisanya saya ambil ke rumah. Jaminannya KTP saya tinggalkan disini…”
“Sebentar dulu, Pak.” Seru pengisi minyak itu seraya mengambil KTP Fredy, lalu masuk ke dalam. Dari bayangan di balik kaca, terlihat dia berbicara dengan seseorang. Tak lama kemudian seseorang bertubuh tinggi besar keluar. Dia menuju ke arah Fredy dan mengembalikan KTP Fredy.
“Boleh, Pak. Tapi bukan KTP, namun SIM yang harus ditinggalkan.” Jelas lelaki bertubuh tinggi besar yang hanya memakai kaus singlet. Sehingga tampak sekali tubuhnya kekar berotot.
Fredy bengong. “Kalau SIM yang saya tinggalkan, kalau ada razia kena dong saya, Pak…” Katanya sambil mengerutkan kening takut-takut. Karena selain bertubuh tinggi besar, kumis bapak itu melintang seperti kumis pak Raden dengan tubuh penuh tatoo. Belum apa-apa Fredy sudah KO duluan.
“Kalau KTP yang Bapak tinggalkan, nanti gampang diganti dan Bapak bisa saja tidak membayar. Tapi kalau SIM, tak mudah Bapak ganti…” Jawab si tubuh tinggi besar acuh tak acuh.
“Tapi…Tapi… Sekarang sedang giat-giatnya razia. Nanti saya ditilang, Pak…” Jelas Fredy lagi, mencoba beragumen.
Si Tubuh tinggi besar menatap Fredy tajam, membuat Fredy semakin gentar dan segera menunduk. “Saya akan berikan keterangan, Pak. Bahwa SIM Bapak saya tahan…”
“Bapak buat keterangan? Bagaimana bisa?” Tanya Fredy semakin keheranan. “Apakah polisi lalu lintas bakal percaya?”
“Kalau Bapak kena tilang, biar uang bensinnya saya ganti dua kali lipat …!” Seru Bapak itu meyakinkan. Suaranya begitu mantap, sedikitpun tak ada keraguan.
Fredy pun tak mau berpanjang-panjang, karena banyak juga pengendara lainnya yang mengisi bensin di situ. Dia jadi malu sendiri, tampak sekali jika tak punya uang.
“Okey deh, SIM saya tinggalkan…!” Kata Fredy sambil merogoh saku celananya untuk mengambil dompet dan mengeluarkan SIM-nya. Tak lama kemudian surat keterangan itu sudah di buat. Hebatnya lagi, sepertinya sudah ada blankonya. Artinya dia bukan orang pertama mengalami hal yang begini.
Fredy mengambil surat keterangan yang dibuat pemilik kios dan segera berlalu. Kalau terkena tilang pun tak apa, bathin Fredy. Toh itu bagian dari resiko hidup di dunia. Salah sendiri mengapa dia selalu tak punya uang cukup.
Sambil meluncur di jalan raya, bathin Fredy terus berkelana. Sudah lebih setengah abad Indonesia merdeka, hal seperti ini saja tak pernah mampu dibereskan. HET bensin resminya satu liter hanya empat ribu lima ratus rupiah, tetapi di kios-kios bisa melebihi dua puluh ribu rupiah. Karena di SPBU tidak ada BBM, terpaksa beli di kios yang harga nya sudah berlipat-lipat. Tapi karena perlu, ya apa boleh buat. Toh tak mungkin motornya di isi dengan air kencing.
Lalu siapa yang bisa memperbaiki hal-hal seperti ini? Anggota DPR-MPR yang selalu bermulut manis? Atau Anggota DPD yang berjanji membela kepentingan daerahnya? Atau Para pemimpin partai yang selalu mengatakan dirinyalah atau partainyalah yang paling baik dan benar? Atau Para pejabat negara yang selalu berkata bahwa dirinya bersih? Atau mungkin juga para pimpinan LSM dan ORMAS ayang selalu berdemo menuntut keadilan dan pemerintahan yang akuntabel? Aah, desis Fredy dalam hati. Mereka pun pada sibuk dengan urusan masing-masing. Mana sempat menangani urusan wong cilik. Mereka semua pada sibuk mengamankan posisinya agar tidak tergeser.
Tanpa sadar Fredy berkali-kali menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri. Sampai kepala ke bawah kaki ke ataspun, tidak akan pernah menemukan jawaban dan penyelesaiannya. Fredy semakin menggelengkan kepalanya lagi. Seorang ibu yang kebetulan melihatnya dari pinggir jalan juga menggelengkan kepala, merasa pasti si pengendara motor yang melintas itu kurang waras. Masa sambil mengendarai motor kepala geleng-geleng terus, motor butut lagi.
Fredy terus berkendara, sambil sekali-sekali memandang ke kiri kanan jalan. Di salah satu sisi jalan, tampak penuh dengan rumput gajah yang meskipun sedang kemarau tetapi tampak hijau. Daunnya meliuk-liuk tertiup angin kendaraan yang lewat. Oh ya, pikir Fredy. Benar juga kata Ebiet G Ade, tanya saja pada rumput yang bergoyang. Barang kali saja sang rumput menyimpan sabda Ilahi dan tahu jawabannya.

Nanga Pinoh, Akhir Juli 2006

No comments: