Saturday, October 18, 2008

Cerpen-Mulutmu Harimaumu

Menurut informasi terakhir di jagat mas media, di kota kecil inilah kawan baiknya berdomisili. Semenjak di pecat dari LSM tempat mereka bersama bekerja dulu, kawannya pulang ke kota ini. Sementara Robert berangkat study ke Hawaii hingga meraih gelar Ph.D. Robert perlu sobatnya ini, karena sangat ahli mendengarkan nuansa bahasa daerah. Bahkan dia digelari bertelinga emas, karena sering menambah acuan baru bagi International Phonetich Alphabet.
Setelah bertanya ke sana-kemari tentang alamat kawannya, akhirnya Robert tahu akan keberadaannya. Dia lalu menitipkan Toyota Fortuner nya di Wisma Prona dan naik Ojek kurang lebih 15 menit dan setelah itu si pengendara Ojek yang kebetulan sangat mengenal Jonathan kawannya itu, mengantarnya berjalan kaki lagi selama kurang lebih 45 menit ke arah tepian hutan.
Di depan Robert terpampang suatu pemandangan yang membuatnya terpana. Diatas tanah yang luasnya mungkin lebih tiga hektar, terhampar luas beraneka tanaman dan perkebunan sayur. Ada durian, kelotok, manggis, nangka, pisang, bambu, petai dan puluhan tanaman tradisional lainnya khas Kalimantan yang dia tidak tahu apa bahasa Indonesianya. Juga berpetak-petak kebun sawi, kangkung, cangkok manis, peringgi, labu, gambas, kecipir, kacang panjang, mentimun, serai, lengkuas, cabai rawit, kunyit dan lainnya. Di tengah-tengah hamparan tanah itu terdapat sebuah kolam yang panjangnya mungkin lebih seratus meter dengan lebar sekitar dua puluh meter, di salah satu sisinya terdapat beberapa buah perahu dan tak jauh dari kolam terlihat sebuah rumah yang terbuat dari bahan kayu yang bentuknya sederhana tetapi teduh karena di dekatnya banyak pepohonan. Robert yakin jika kolam itu pastilah berisi ikan peliharaan. Dengan tidak bisa melepaskan pandangannya dari keasrian tempat itu, Robert menuju ke arah rumah di tengah hamparan perkebunan itu.
“Mimpi apa kamu jauh-jauh datang ke pondok ku ini?” Tanya Jonathan, seraya mengulurkan tangannya menyalami Robert. Kedua kawan karib yang sudah sepuluh tahun tak pernah bertemu ini berjabatan tangan begitu erat sampai bergoyang-goyang,
Pada saat itu seorang wanita paruh baya keluar dan melemparkan senyum ke arah tamu Jonathan. “Wah, kami kedatangan tamu agung rupanya. “Pasti S-3 nya sudah selesai, ya?” Celetuk isteri Jonathan.
“Aah. Itu hanya gelar doang. Tapi kawan saya ini biarpun cuma S- 1 tetapi otaknya melebihi S-3.” Seloroh Robert tak kalah seru.
Jonathan hanya tersenyum saja mendengar percakapan isterinya dan kawannya. “Mau duduk di luar atau di dalam?” Tawar Jonathan.
“Aku mau masuk saja…” Jawab Robert. “Delapan jam menjalani bekas perang dunia kedua, cukup capek juga rasanya katanya mengomentari kondisi jalan propinsi ke daerah domisili kawannya ini yang seperti bekas pemboman sekutu pada perang dunia kedua saja.
Jonathan hanya tersenyum saja. Sikap kawannya ini membuat Robert keheranan, karena itu bukan kebiasaannya. Biasanya dia langsung berkomentar dengan keras dan melontarkan kritikan di sana-sini.
Robert juga semakin keheranan, karena di setiap sisi dinding rumah kawannya terdapat tulisan; “Jaga mulutmu. Mulutmu adalah harimaumu!”
“Tulisan itu bukan untuk tamu…!” Jelas Jonathan tanpa di tanya, ketika melihat kawannya terpaku di situ. “Aku berani menulisnya di dinding, karena hampir tak ada tamu ke sini.”
Isteri Jonathan segera menyiapkan teh hangat untuk mereka dan sekaleng kue kering. Cukup lama mereka ngalur ngidul sana-sini, akhirnya percakapan mereka terfokus pada tulisan di dinding.
“Mengapa begitu banyak tulisan “Jaga Mulutmu. Mulutmu adalah harimaumu!” Jikalau boleh tahu?.” Pancing Robert sedikit bersiasat untuk mengorek keterangan dari kawannya ini.
Jonathan tersenyum lebar. Dia lalu memandang isterinya, sepertinya minta persetujuan. Isterinya mengangguk sebagai tanda setuju bagi Jonathan untuk menceritakannya.
“Sebenarnya tulisan itu untuk diriku sendiri.” Jelas Jonathan.
”Lho?” Celetuk Robert keheranan.
Jonathan kembali tersenyum. Sikapnya banyak berubah sejak terakhir pertemuan mereka, bahkan boleh dikatakan berubah secara drastis. Sekarang dia lebih banyak tersenyum dan kelihatan sekali jika wajahnya sangat sabar. Betul-betul the smile baby face.
“Ceritanya meski ku ringkas bakalan cukup panjang. Apa kamu betah mendengarnya?.” Tanya Jonathan.
“Ceritalah. Aku suka, pastilah ceritanya istimewa.” Sahut Robert. Dia lalu menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. Sambil mendengarkan cerita kawannya, dia juga sekalian melemaskan otot-ototnya yang kelelahan. Robert terus diam melihat sikap serius kawannya. Pastilah sangat menarik. Kalau tidak, mana mungkin kawan karibnya yang dulunya dia kenal sangat vokal ini sampai mau mengasingkan diri di tempat pertapaan seperti ini.
“Dulunya aku tidak bisa diam jika melihat hal yang tidak lurus di masyarakat. Dan saya yakin kamu masih ingat akan hal itu.” Kata Jonathan memulai ceritanya. Robert hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Tetapi setelah puluhan tahun dan terlebih ketika aku sudah punya anak, hal-hal yang aku lakukan itu sepertinya sangat sedikit manfaatnya. Malahan sangat berbahaya bagiku dan terutama sekali bagi anak isteriku..”
“Kok bisa?” Celetuk Robert tak tahan tidak bertanya.
Jonathan menarik nafas panjang, seperti sejuta beban menghimpit dadanya. “Kamu bayangkanlah.” Tukas Jonathan sambil menggelengkan kepala. “Sewaktu di perusahaan Plywood dan Perkebunan sawit. Aku pernah mengkritik keras para manajemen dan pemilik perusahaan, karena karyawan hanya di gaji maksimal lima ratusan ribu rupiah sementara para teknisi dari Singapura, Malaysia dan Philipina di bayar minimal enam puluhan juta rupiah sebulan belum lagi mereka dapat tambahan berbagai tunjangan. Padahal beban kerja dan keterampilan kurang lebih sama. Aku rasa hal itu sungguh tidak adil dan merupakan pelecehan terhadap kita warga negara Indonesia. Kamu tahu apa akibatnya? Aku dimutasikan ke hutan dan ditempatkan dibagian dimana aku hidup segan matipun tak mau. Lalu ketika kita sama-sama di LSM kemarin, kamu ingatkan ketika ditugaskan untuk meneliti kepedalaman dengan dana hibah milyaran rupiah dari luar negeri?” Tanya Jonathan sambil menatap Robert.
“Masih ingat!” Jawab Robert dengan anggukan kepala.
“Nah. Waktu itu kita hanya mendapat uang gaji saja, sementara ongkos perjalanan dan fasilitas pun kita harus bertengkar untuk memintanya. Dan setelah setahun meneliti keluar masuk hutan, kita pulang dan kamu masuk rumah sakit sementara saya terkena malaria. Lalu apa yang diperoleh mereka yang hanya duduk di kantor? Masing-masing mereka mampu membeli mobil dan bahkan direktur kita mampu mendirikan rumah dengan budget miliran rupiah. Aku mengkritik keras. Dan kamu tahu akibatnya? Aku diberhentikan tidak dengan hormat, dengan alasan kita kelebihan orang sementara volume kerja sedikit.”
Robert manggut-manggut. Dia juga ingat betul bagaimana kerasnya kritikan Jonathan waktu itu. Tetapi mereka semua tidak ada yang berani mendukungnya, karena mereka takut kehilangan pekerjaan. Tidak ada mereka yang berani menjadi pahlawan kesiangan. Sehingga Jonathan berjuang sendiri, padahal apa yang dia sampaikan sesungguhnya aspirasi mereka semua. Ada juga terlintas rasa bersalah dalam benak Robert, tapi toh semuanya sudah jadi bubur.
“Lalu aku pulang ke sini, ke kota tempat pertama kali aku mengenal mantan pacarku ini.” Kata Jonathan seraya melirik isterinya. “Aku memulai hidup di sini, tanpa tabungan, tanpa pekerjaan, tanpa harta benda. Sementara isteriku sedang berbadan dua. Untungnya aku masih punya sebuah sepeda motor, meskipun masih kreditan. Aku lalu keluar masuk kampung disekitar sini, mengumpulkan karet, menjual bawang putih dan bahkan terkadang sebagai pengojek, hanya untuk sekedar menyambung hidup.”
“Tapi yang pentingkan semuanya sudah lewat.” Celetuk Robert terharu. Tak disangkanya begitu berat derita dan perjuangan kawannya ini.
Jonathan tersenyum, sepertinya rasa sedihnya yang sempat muncul kepermukaan tadi sudah mulai menguap. “Untuk sekarang ya. Tapi sampai ke situasi sekarang ini, sangat panjang jalan yang kulalui.”
“Oh, ya?”
“Betul. Bahkan cukup menyakitkan. Banyak cerita, tapi kutambahkan beberapa saja.” Lanjut Jonathan.. “Pernah saya ikut diundang menghadiri rapat tentang minyak tanah yang sering lenyap dari pasaran. Kalaupun ada maka harganya bisa dua puluh kali lipat.”
“Lalu bagaimana hasilnya?”
“Saya adalah yang paling keras berbicara. Kebetulan ada beberapa anggota dewan juga yang menghadirinya. Sebagai rakyat yang mengharapkan mereka menyerap aspirasi kita, saya berbicara habis-habisan. Kamu bisa menduga apa yang terjadi?” Tanya Jonathan sambil menjemput beberapa potong kue kering. Robert hanya menggelengkan kepalanya.
“Sejak itu saya tidak bisa membeli minyak tanah, jawabannya minyak tanah kosong. Jadi selama ini saya terpaksa memasak dengan kayu bakar”
“Walah-walah. Mengapa sampai begitu?”
“Rupanya sembilan puluh persen anggota Dewan kabupaten ini berjualan BBM, meskipun banyak yang bukan atas nama mereka.” Jelas Jonathan sambil tertawa getir.
“Tapi bagaimana para pekerja kios BBM itu bisa tahu jika kamu yang mengkritik keras?”
“Inikan kota kecil kawan, tinggal mereka tempel saja poto saya di kios mereka.” Jelas Jonathan sambil tertawa.
Robert pun ikut tertawa. “Lucu juga, ya. Tapi kamu tidak sakit hati?”
“Sakit hati? Jelas dong. Tapi apa yang bisa saya lakukan. Saya seorang diri, mana mungkin saya melawan tirani itu sendirian?”
Tanpa sadar Robert menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Bukan hanya itu,” Tambah Jonathan. “Saya sekarang sudah tidak menjadi anggota Credit Union lagi.”
“Sampai bisa begitu?” tanya Robert keheranan. Sebab salah satu kewajiban mereka sebagai anggota LSM adalah wajib menjadi anggota Credit Union dan disarankan biarpun sudah tidak menjadi anggota LSM lagi, mereka tetap menjadi anggota Credit Union.
“Gara-gara mulut ku ini juga.” Sahut Jonathan. “Waktu itu seperti anggota Credit Union yang lainnya, aku menghadiri rapat tahunan anggota. Aku mempertanyakan harga tiga unit komputer yang mencapai empat puluh lima juta rupiah, karena ku tahu harga satu unitnya di sini sekitar tiga jutaan. Akhirnya aku tidak pernah di undang mengikuti rapat anggota tahunan lagi. Bahkan aku selalu dilayani dengan sinis jika menyimpan dan menarik tabungan. Beberapa bulan kemudian akhirnya aku tahu, jika pengadaan perangkat komputer untuk komputerisasi di Credit Union itu dilaksanakan oleh salah seorang anak dewan pengurusnya.”
“Gila. Sungguh gila.” Komentar Robert singkat.
“Rapat-rapat di lingkungan sekolah juga aku tidak pernah di undang lagi…!” Kata Jonathan tanpa di tanya.
“Apakah sama kasusnya perihal komputer di Credit Union itu?” Tanya Robert meyakinkan dirinya.
“Betul.” Jawab Jonathan. “Sewaktu aku menghadiri rapat komite di sekolah, salah satu laporannya adalah uang komite sekolah sejumlah seratus juta lebih di gunakan untuk biaya perbaikan komputer, padahal komputer yang ada itu hanya delapan unit dan itupun Pentium II second. Aku bilang, mengapa harus mengeluarkan biaya sebesar itu hanya untuk perbaikan komputer Pentium II second, mengapa tidak membeli Core 2 Duo saja, toh dengan harga di daerah sini kita bisa meminang lebih tiga puluh unit dengan spesifikasi standar. Namun akibatnya aku tidak pernah di undang lagi rapat komite sekolah.”
Robert kembali menggeleng-gelengkan kepala. Dia heran juga sepertinya semua kemalangan harus dihadapi oleh kawannya ini. Dipandangnya kawannya ini lekat-lekat dan jelas jika wajahnya yang sudah penuh kerutan itu telah merekam catatan hidup yang penuh kegetiran. Rambutnya sudah mulai dua warna, tetapi tubuhnya tampak masih sehat. Mungkin karena setiap hari bergelut dengan tanah perkebunannya itu, sehingga tanpa sengaja tubuhnya selalu berolah raga.
“Sebenarnya, aku baru enam tahun pindah ke tempat jin buang anak ini, istilah Jonathan untuk menggambarkan terpencilnya pondoknya itu dari penduduk lain. Dulunya aku tinggal di tengah kota kecil.” Sambung Jonathan lagi membuyarkan lamunan Robert.
“Oh ya. Lalu rumahmu itu masih di kota?”
“Masih. Tapi pemiliknya sudah orang lain?”
“Ya?” Desah Robert sambil mengerenyitkan keningnya mengharapkan penjelasan lebih lanjut.
“Kujual murah. Bahkan sangat murah. Ceritanya, ketika itu disekitar tempat tinggal kami banyak yang memelihara babi dan ayam pedaging. Para tetangga pada komplain dengan baunya. Akhirnya kami sepakat untuk melaporkan hal itu kepada pemerintah daerah. Dan lagi-lagi saya yang dipercayakan untuk memimpin.”
“Lalu?”
“Kami menghadap PEMDA. Tapi tak ada hasilnya.”
“Kok bisa begitu? Memangnya mereka tidak perduli?”
“Ternyata para peternak itu semuanya punya keluarga di pemerintahan. Pejabat teras lagi.”
“Jadi sia-sialah kedatangan kalian itu?”
“Bukan hanya sia-sia.” Tukas Jonathan. “Beberapa hari kemudian, beberapa orang preman mengunjungi rumahku. Hasilnya beberapa tulang igaku sebelah kiri ini patah.”
“Waduh. Sampai separah itu. Apa tidak lapor polisi?”
“Setelah sembuh aku melaporkannya. Tapi para pelaku itu dibebaskan.”
“Masa?” Komentar Robert hampir tak percaya. “Jadi polisi tidak memprosesnya?”
“Katanya tak cukup bukti dan saksi. Malahan aku dituntut karena merusak nama baik. Hasilnya aku menginap di hotel prodeo selama tiga bulan.”
“Wah.Wah. Wah.” Desah Robert sambil terus menggelengkan kepalanya.
“Itulah.” Kata Jonathan. “Sekeluar dari tembok penjara, aku berdiskusi dengan isteriku. Dia memberikan masukan, agar aku jangan lagi terlalu vokal. Lebih baik aku mengurusi keluarga saja. Toh lebih dari dua puluh tahun terlalu vokal membela kepentingan orang banyak, tidak ada hasil positif bagi kami. Selain secara ekonomi kami morat-marit, harta benda tak punya, tabungan tak punya sementara anak sudah mulai sekolah, aku juga hampir kehilangan nyawa.”
“Jadi itu yang membuat kamu bertapa di sini?” Tanya Robert sambil tersenyum getir. Trenyuh juga hatinya melihat kondisi kawannya yang dia kenal memang vokal tetapi sangat jujur dalam hidupnya.
“Betul. Akhirnya aku berjanji untuk menjaga mulutku. Karena mulutku adalah harimauku. Bahkan tiga bulan pertama, mulutku ini ku plester, hanya dibuka ketika makan dan minum saja. Setelah agak bisa menahan bicara, barulah tidak ku plester lagi.”
Robert menarik nafas panjang sambil terus menggeleng-gelengkan kepala. Lama keduanya terdiam. “Kamu lahir ditempat yang salah dan di jaman yang salah.” Desis Robert lemah, hampir tak terdengar. Lalu keduanya membisu lagi.
“Oh ya.” Kata Jonathan memecahkan kebisuan mereka. Dari tadi aku terus yang memborong pembicaraan. Tentunya ada kepentingan khusus sampai jauh-jauh datang kemari?”
Robert tersenyum. “Dugaanmu memang tidak salah!”
“Jadi?”
“Aku menawarkan suatu kerja sama.”
“Ah, yang benar saja.” Tukas Jonathan. “Usiaku sudah hampir kepala lima. Tak ada lagi energi untuk melakukan pekerjaan berat.”
“Ha.Ha.Ha.” Tawa Robert meledak. “Mana mungkin aku mengajakmu masuk hutan keluar hutan seperti yang kita lakukan dulu. Sekarang aku sudah mendirikan NGO sendiri dan sewaktu di Hawaii aku bertemu sebuah non profit foundation yang mau mendukung penelitian tentang linguistik masyarakat adat di Kalimantan. Kami deal, dan dananya lebih satu miliar. Aku perlu telinga emasmu itu.”
“Tapi aku tak mungkin meninggalkan kota ini.” Jawab Jonathan masih kurang tertarik.
“Tak perlu meninggalkan kota ini kawan. Bahannya beserta apa yang harus kamu lakukan kukirimkan kesini dalam format digital. Bagaimana?”
“Bagaimana ya?” Desah Jonathan masih ragu.
“Jangan khawatirkan bayarannya. Tanda tangani perjanjiannya, dan dua ratus juta untukmu. Bagaimana?”
Jonathan terdiam. Dia bekerja tanpa meninggalkan kotanya, hanya berkutat di depan MP3 player dan membuat transkripsi kata-kata bahasa daerah. Dan bayarannya dua ratus juta. Dari mana dapat uang sebesar itu? Lebih dari cukup untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai tamat SLTA dan bahkan untuk kuliah di universitas negeri.
“OK lah. Asalkan bukan angin surga saja.” Desisnya lemah. Karena tawaran itu sungguh menarik.
“Ha. Ha. Ha. Itu baru kawan.” Seru Robert seraya mengulurkan tangan menyalami kawannya ini. “Persekot sepuluh persen bisa kuberikan sekarang.” Katanya seraya meraih tas hitam yang dibawanya tadi. Dia lalu mengeluarkan dua kelompok uang angka seratusan ribu rupiah dan beberapa lembar kertas bertulis.
“Dua puluh juta kamu terima dulu. Baca perjanjiannya dan kalau OK, tanda tangani itu dan juga kwitansinya.” Kata Robert seraya menyerahkan lembaran-lembaran kertas perjanjian, kwitansi dan dua tumpukan uang dengan nominal dua puluh juta rupiah di atas meja. Sehingga membuat Jonathan tercekat, hampir dia tidak percaya. Dua puluh juta? Tapi memang di atas meja memang ada tumpukan uang sepertinya sejumlah itu. Di cubitnya tangannya sendiri, sakit. Jadi nyata, dia tidak sedang bermimpi.
Robert tersenyum melihat tingkah kawannya, “itu memang benar. Orang-orang di Amerika dan Eropa itu tidak pelit jika sudah kaya. Mereka menggunakan sebagian kekayaannya itu untuk membantu sesamanya di seluruh dunia, tanpa memandang suku dan agama.” Tukas Robert. “Jadi uang yang kamu lihat itu memang nyata.!”
Jonathan lalu meraih Surat Perjanjiannya, membacanya teliti. Aman. Lalu menanda tanganinya serta kwitansinya. Uang itu di hitung dengan perlahan, benar 20 juta. Suatu nominal rupiah yang hanya pernah di pegangnya ketika melelang rumahnya dulu, enam tahun yang lalu. Jonathan lalu menyerahkannya kepada isterinya.
“Saya harus pulang malam ini juga.” Jelas Robert. “Nih, Notebook ini kupinjamkan. Apakah masih ingat cara memakainya?” Godanya sambil menyerahkan satu unit Notebook Acer Ferrari kepada Jonathan.
“Sialan kamu.” Balas Jonathan seraya menggelitik kawannya.
“Aku tak bisa berlama-lama.” Tukas Robert sambil merapikan dan mengemas seluruh berkasnya. Robert memasukan surat-surat dan kwitansi yang sudah ditanda oleh Jonathan. Dan copynya diberikan kepada Jonathan.
“Wah, tidak bermalam atau paling tidak makan malam dulu di sini?”
“Tak usah repot-repot. Besok saya ada pertemuan dengan perwakilan lembaga donor dan lusa harus berada di Chicago ke kantor pusat lembaga itu.” Jelas Robert.
Ketika Robert sudah pulang, Jonathan memandang isterinya. “Akhirnya ada juga yang menghargai profesionalismemu.” Gumam isterinya. “Benar kata pepatah, orang sabar dikasihi Tuhan.” Lanjut isterinya lagi seraya mencium kening suaminya mesra.
Sesaat kemudian keduanya lalu menuju ke arah dapur, di sana kedua anak mereka yang masing-masing sudah duduk di kelas satu dan dua SD duduk mengitari meja makan. Di atas meja makan sudah tertata rapi nasi dan sambal ikan asin, daun ubi rebus, sambal cabe dicampuri bawang putih dan terasi. Tak lupa juga di atas piring tersedia lalap daun sawi keriting dan irisan mentimun hasil kebun mereka sendiri. Jonathan memandang isterinya dengan senyuman. “Mari kita makan!”, ajaknya. “Kamu pimpin doa makan, nak!”, lanjutnya lagi kepada anak mereka yang sulung.
Sambil mereka makan, lagu Rumah Ku Istana Ku dari Ahmad Albar dengan Gong 2000 nya mengalun lembut dari FM Radio swasta melalui speaker setereo radio semata wayang mereka.

Nanga Pinoh, Pebruari 2007

No comments: