Sunday, October 19, 2008

Novellet-Kemarahan Sang Kaisar

Jatuh Tertimpa Tangga

Sudah beberapa kali Justio menghentikan angkutan umum mini colt yang menghubungkan Kampung Arang dan Terminal Batu Layang, tetapi dari kejauhan kernetnya selalu sudah menggoyangkan tangannya pertanda mini colt tersebut penuh. Justio sangat khawatir, karena hanya armada mini colt ini sajalah angkutan umum yang rutenya melalui perumahannya di Jalan 28 Oktober. Tapi mini coltnya selalu penuh, malahan belasan penumpang bergelantungan di pintu mini colt itu dengan sebelah tangan. Memang pada sore hari begini, sangat susah mencari mini colt yang kosong. Karena saatnya pulang kerja bagi para pekerja baik pegawai negeri, karyawan perusahaan plywood dan block board yang bertebaran di Sungai Raya.
Justio melirik arlojinya, menunjukan pukul 18.45 WIBA. Itu berarti sudah hampir dua jam dia berdiri di pinggir jalan mencoba menghentikan mini colt ini, karena dari kantor perusahaan Plywood Bumi Nusantara Makmur tadi dia naik kendaraan angkutan karyawan. Namun rutenya hanya sepanjang jalan Adi Sucipto ke jalan Tanjungpura saja. Sekali lagi Justio melirik jam tangannya. Gawat, sebentar lagi bakalan tidak ada lagi mini colt yang lewat, karena mereka hanya beroperasi sampai pada pukul 19.00 WIBA. Untuk amannya, Justio terpaksa memilih naik oplet jurusan Sungai Raya-Siantan dan berhenti di Simpang Jalan 28 Oktober. Dari situ dia akan berjalan kaki sekitar 4 kilometer lagi menuju rumahnya dengan waktu tempuh sekitar satu jam.
Oplet yang dihentikan oleh Justio, ternyata sudah berisi sebelas orang. Padahal kapasitasnya hanya enam orang. Tetapi sopirnya tetap memaksa Justio masuk. Justio dengan agak enggan akhirnya masuk juga, dari pada nanti menunggu lebih lama lagi tapi ujung-ujungnya tak dapat tumpangan. Pintu oplet tidak bisa di tutup, karena penumpangnya kepenuhan. Debu dan asap dari knalpot penuh karbon dioksida menyerbu ke dalam oplet, berbaur dengan bau keringat dan tubuh-tubuh yang belum mandi. Sopir oplet membawa opletnya melaju meliuk-liuk menembus udara sore yang berkabut asap lahan gambut yang terbakar, memotong kendaraan lain seperti motor, mobil dan truk pengangkut barang. Para penumpangnya hanya bisa berdoa dalam hati, semoga saja nyawa mereka yang dititipkan pada sopir yang tak tamat SD ini tidak segera di cabut oleh malaikat maut melalui kecelakaan lalu lintas.
Justio duduk berjongkok di tengah dibagian belakang dekat pintu masuk, karena kursinya sudah penuh. Dikirinya seorang ibu duduk dengan menggendong anaknya sambil disusui. Di arah depan seorang mbak jamu dengan peralatan jamunya juga duduk berjongkok seperti Justio. Sementara disebelah kanannya seorang gadis manis anak sekolahan swasta, yang diketahui dari bet yang terjahit di dada bajunya. Kernet oplet juga berjongkok di bagian belakang Justio sambil tangannya sengaja ditumpangkan diatas paha anak sekolahan tadi, sehingga membuat si anak beberapa kali menepiskannya dengan tangan mungilnya. Tetapi kernet oplet itu dengan tak tahu malu selalu mengulangi perbuatannya. Padahal kondisi fisik mereka seperti bumi dengan langit, karena si anak sekolahan berkulit putih, berhidung mancung dan bertubuh ramping dan yang pasti umurnya masih belasan. Sementara si kernet bertubuh hitam bak pantat kuali, berhibung pesek, bertubuh gembrot dan sudah berbau tanah. Tetapi para penumpang tidak ada yang berani menegur kelakuan kernet tadi, termasuk Justio. Karena mereka takut di tusuk oleh kernet dan sopirnya yang jelas-jelas membawa senjata tajam di dalam oplet.
Dua belas menit kemudian, Justio mengetuk dek oplet pertanda minta berhenti. Dalam posisi oplet sedang melaju kencang, sopirnya meminggirkan opletnya dengan tiba-tiba sambil menginjak rem, sehingga semua penumpang terdorong keras ke arah depan dan dua orang yang berada di barisan depan kepalanya terantuk dinding pembatas dengan sopir. Kepalanya benjol, tapi keduanya hanya mengusapnya saja tanpa berani berkomentar. Para penumpang sangat menyadari, para sopir oplet ini terkenal garang.
Setelah membayar biaya opletnya, Justio dengan lunglai melangkahkan kakinya menapaki jalan ke arah rumahnya. Lelah, lapar dan gerah. Tapi kerinduan akan bertemu anak semata wayang dan isterinya tercinta, membuatnya tetap mengayunkan lututnya menempuh empat kilometer berikutnya menuju ke arah rumahnya.
Sudah terbayang oleh Justio, betapa riangnya anaknya menyambut kedatangannya. Biasanya dia meloncat-meloncat melihat kedatangan ayahnya. Isterinya dengan senyum bahagia melihat dia pulang dalam keadaan selamat dan akan menyambutnya dengan berdiri di depan pintu rumah mungil mereka, RSS tipe 36.
Satu jam kemudian, rumah munggil mereka sudah tampak dalam remang-remang lampu jalan komplek yang temaram. Rasa lapar, lelah, dan gerah sudah terlupakan. Yang ada dalam hatinya adalah cepat sampai ke rumah, menemui anak dan isteri tercintanya. Lalu beristirahat.
Justio heran, melihat pintu rumahnya terbuka dengan lampu ruang tamu di biarkan menyala. Setelah membuka sepatunya, Justio dengan penuh tanda tanya masuk ke dalam rumah dan keheranannya terjawab, ketika melihat seorang wanita muda duduk di ruangan tamu. Justio mengulurkan tangannya, menyalaminya. Hanya saja Justio tidak mengenali wanita tersebut, Cuma sekilas tampak jika wajahnya kelihatan pucat dan lelah. Justio mencoba tersenyum. Wanita itu membalas senyuman Justio walaupun lebih menyerupai sebuah seringai dibandingkan sebuah senyuman. Justio langsung masuk ke dalam kamar tidur, karena rumah munggil mereka ini hanya terdiri dari ruang tamu, kamar tidur dan dapur. Sementara kamar tidur mereka langsung menghadap ke arah dapur dan dapur berbatasan langsung dengan ruang tamu.
“Bapak…!” teriak anak nya sambil berlari menuju Justio. Rupanya isterinya dan anak mereka sedang membuat teh di dapur. Memang kebiasaan isterinya selalu menyediakan teh panas bagi Justio begitu dia pulang kerja malam hari. Dan ini bukan yang pertama kalinya Justio pulang larut malam.
Justio langsung mengangkat anaknya, memeluknya dan menciumnya. Anak semata wayang mereka ini sudah berumur dua tahun, tetapi bicaranya sudah sangat jelas. Karena pada usia sembilan bulan dia sudah bisa berbicara dan berjalan. Setelah menurunkan anaknya, diapun mencium kening isterinya. Lalu Justio membuka pakaiannya.
“Siapa?” Tanya Justio berbisik sambil membuka bajunya yang bisa di peras saking penuhnya dengan keringat. Isterinya hanya tersenyum, meskipun Justio bisa melihat jika senyum itu sangat di buat-buat. Sepertinya di balik senyum isterinya itu dipenuhi kabut hitam keresahan.
“Abang mandilah dulu, dan segera saja makan. Nasi dan lauknya sudah dingin…” Kata isterinya tanpa menjawab pertanyaannya.
Walaupun dikepalanya dipenuhi oleh seribu pertanyaan, Justio segera mandi dengan air berwarna merah lumpur dari sumur yang baru di gali di belakang rumah beberapa hari yang lalu. Selesai mandi dia berganti pakaian dan langsung menuju meja makan. Di bukanya tutup makanan, tampaklah nasi dan lauk pauk yang terdiri dari sepotong ikan asin dan tumisan daun katu dicampur ikan teri serta sambal cabe dicampur terasi Singkawang.
“Adik sudah makan?” Tanya Justio.
“Sudah…!”
“Dia?” Tanya Justio lagi sambil memberi kode dengan sudut matanya ke arah tamu wanita muda di ruang tamu.
Isterinya sekali lagi tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Tampak sekali jika isterinya tidak mau membebani pikirannya.
Justio lalu berdiri dan berjalan menuju ke ruang tamu. “Adik, makan yok…!” Ajak Justio berbasa basi.
“Makanlah, bang..” Jawabnya sendu.
“Benar, nih. Makan yok…” Tawar Justio sekali lagi mengajakannya.
“Benar, Bang. Makan saja, saya sudah makan dengan kakak kok, tadi…” Jawabnya sambil mencoba tersenyum. Tapi bagi Justio senyuman itu lebih menyerupai sebuah ringisan.
Justio kembali ke mejanya. “Si kecil kita sudah makan belum?” Tanya Justio pada isterinya sambil menyendok nasi ke dalam piringnya.
“Sudah, Bang. Makannya lahap…” Jawab isterinya sambil memangku anak mereka. “Tadi saya membeli sepotong ikan, khusus untuk dia.”
Beberapa saat kemudian, Justio sudah melahap makanan yang tersedia. Semua yang ada di atas meja dalam waktu sebentar saja sudah ludes. Benar juga kata kakek dulu, kenang Justio dalam hatinya. Sayur yang paling enak adalah rasa lapar. Karena di saat kita lapar, apapun makanan itu jadi enak. Sehingga goreng ikan asin, daun katu ditumis campur ikan teri serta sambal terasi itu dalam hitungan beberapa menit saja sudah berpindah ke dalam perut Justio. Lalu teh dalam gelas besar bersisik itupun hanya sekali cerucupan juga sudah pindah ke dalam perutnya.
Keringat menetes dari kening Justio. Dia mengusap perutnya, kekenyangan. “Terima kasih, dik. Masakannya sungguh enak.” Puji Justio sambil menatap isterinya, mesra.
Isterinya hanya terenyum, namun senang. Walaupun sesungguhnya dia tidak pernah tahu dengan pasti, apakah setiap masakannya itu enak atau tidak. Karena setiap dia memasak makanan ataupun penganan, suaminya selalu berterima kasih dan mengatakan itu enak. Inilah salah satu sisi yang membuatnya sangat menyayangi suaminya. Suaminya tidak memprotes ataupun merendahkan masakannya. Jika dia memasak keasinan, suaminya hanya mengatakan; kalau bisa besok-besok kurangi garamnya ya dik. Jika air tehnya kemanisan, suaminya akan mengatakan bahwa air tehnya manis karena ditambah wajahnya yang manis.
Beberapa menit kemudian. “Bang…!” Desah isteri Justio perlahan sambil berjalan menuju ke arah kamar tidur dengan mimik serius. “Sini sebentar…”
Justio yakin itu pasti ada kaitannya dengan wanita muda yang ada di ruang tamu mereka. Diapun lalu beranjak masuk ke kamar tidur mereka.
“Abang tahu, siapa yang di ruang tamu?” Tanya isterinya membuka pembicaraan dengan berbisik. Justio hanya menggeleng.
“Abang tak bisa menebak?” Kembali Justio menggeleng.
Senyum isterinya melebar. “Sungguh?”
“Uk uuu.” Gumamnya sambil mengangguk.
Isterinya kembali tersenyum. Sepertinya memang sengaja menggoda suaminya. Tetapi Justio dengan tenang menunggu isterinya menyampaikan berita itu. Dia tetap tidak mau melayani godaan isterinya.
“Massa abang tidak tahu. Itukan adik ipar abang.” Jelas isterinya, dengan senyum menggoda.
Justio tersentak. Iparnya? Isteri siapa? Mengapa disini? Oohhh. Justio tersadar. Pasti wanita itu sudah hamil, oleh salah seorang dari kedua adiknya.
“Adikku yang mana?” Tanya Justio penasaran setelah mulai jelas akan persoalannya.
“Yang tertampan kedua…” Jawab isterinya.
Justio terduduk lemas. Itu artinya adik bungsunya. Karena ayahnya selalu bercerita ke sana kemari, jika diantara mereka empat laki laki adik beradik yang paling tampan adalah yang nomor dua. Yang tertampan kedua adalah yang bungsu. Yang tertampan ketiga adalah yang nomor dua dari bungsu. Sementara Justio sebagai anak tertua tidak masuk hitungan. Sehingga akhirnya jika Justio dan isterinya berbicara tentang adik-adik Justio, mereka hanya akan menyebutkan julukan yang tertampan keberapa saja.
“Jadi ini pacarnya yang mana lagi?” Desis Justio seperti pada dirinya sendiri. Karena setahu dia, pacar adiknya yang terakhir adalah Erna. Ayah Erna seorang pengusaha kayu yang sukses, koneksinya para pejabat pemerintah dan anggota militer. Sehingga roda-roda bisnisnya bergulir dengan aman. Omset usahanya sudah ratusan miliar rupiah.
“Ndak tahulah, Bang.” Komentar isterinya. “Saya hanya khawatir, jangan-jangan ada gadis lain lagi yang hamil”
“Apakah mereka sudah putus?” Gumam Justio.
“Kita tak tahu, Bang. Bisa ya bisa tidak. Mungkin juga dipacarinya serentak.” Kata isterinya masgul.
“Aku sungguh merasa berdosa…” Desah Justio lagi. “Semenjak ibu kami meninggal, adik-adikku jadi tak terkendali.” Katanya lagi seperti menyesali dirinya sendiri. Justio memang pantas bersedih. Bukan saja karena adik-adiknya tak mampu di bimbingnya, tetapi karena mereka sama sekali tidak menghargainya. Ini semua berawal dari ulah ayah mereka, yang selalu menilai anak-anaknya hanya dari sudut pandang ketampanan. Sehingga anak-anaknya yang tampanlah yang selalu benar. Apapun yang disampaikan oleh Justio, selalu tak di pandang sebelah mata. Bahkan lebih dari itu, Justio di gelari si beruk, si jelek, si ceking, si tolol, sarjana bodoh dan seribu satu istilah penghinaan lainnya. Terkadang Justio jadi heran sendiri, kok ada ya di dunia ini seorang ayah yang menilai dan memperlakukan anaknya sendiri seperti itu. Atau jangan-jangan saya bukan anak mereka, ya? Tanya Justio dalam hatinya.
Ketiga adik lelakinya ini gonta ganti pacar sesuka hati mereka. Entah sudah berapa banyak gadis-gadis yang patah hati oleh ulah mereka. Sering Justio menegur mereka. Bahkan dia beberapa kali menyampaikan keluhannya kepada ayah mereka. Tetapi ayah mereka tidak menyalahkan adik-adiknya. Bahkan sepertinya ayah mereka malah merasa bangga melihat ketampanan ketiga adiknya dan mampu menggaet begitu banyak gadis-gadis. Atau ayahnya begitu bangga karena mampu mendapatkan keturunan tampan dengan melalui anak-anaknya yang menurutnya sangat tampan itu?
Kembali Justio menghela nafas. “Sudah berapa bulan?” Tanya Justio setengah berbisik.
“Belum kutanyakan…”
Justio hanya menggelengkan kepalanya. Dia menarik nafas panjang. Mengapa hal begini harus terjadi dilingkungan keluarga mereka?
“Kapan dia datang ke sini?” Desis Justio lagi.
“Tadi sore. Diantar oleh ayah dan ibunya.”
“Jadi tidak datang sendiri?”
“Tidak. Dan mereka berpesan, abang sebagai anak tertua harus bertanggung jawab mengurusnya. Abang harus mencari kemana adik abang itu?
“Apa? Mencari adikku? Apa dia melarikan diri?” Tanya Justio beruntun, suaranya penuh kekhawatiran.
“Ya. Mereka bilang dia tidak ada di rumahnya. Awalnya mereka mengantarnya ke sana, tetapi karena dia tidak ada maka mereka lalu mengantarnya ke sini…” Jelas isterinya panjang lebar.
“Ya Tuhan. Hidup kita sudah susah begini, ditambah lagi persoalan seperti ini.” Keluh Justio sambil memegang keningnya sendiri. Dia kembali menarik nafas panjang dan menghembusnya dengan kuat, seolah mencoba membuang semua persoalan yang dihadapinya.
“Perlu abang ketahui…!” Bisik isterinya lagi. “Dia sudah beberapa kali mau bunuh diri. Makanya semua pisau dan segala sesuatu yang tajam sudah kusembunyikan semua.”
Justio tersentak. Bisa dia bayangkan bagaimana repot isterinya dengan sambil mengurusi seorang anak kecil, juga harus menangkap dan menjaga jangan sampai wanita ini bunuh diri. Betapa berbahaya dan riskannya. Persoalan ini harus segera diselesaikan.
“Kita bicara dengan dia…” Ajak Justio kepada isterinya.
Isterinya beserta anak mereka mengikuti Justio berjalan ke ruang tamu. Mereka lalu duduk di lantai, berhadapan dengan wanita muda yang juga duduk di lantai. Rumah mereka ini belum ada kursi mejanya. Rumah inipun baru beberapa bulan dilakukan akad kredit, karena setelah beberapa tahun bekerja, barulah Justio bisa menabung untuk uang muka kredit rumah mereka. Memang hidup ini sungguh ironis, pikir Justio. Ada orang yang membuang uang sampai puluhan juta rupiah hanya untuk sekali berkaraoke dengan kawan-kawannya. Sementara dia, harus menabung beberapa tahun hanya untuk mendapatkan uang muka kredit rumah yang nominalnya cuma sebesar satu juta setengah saja.
Lama mereka terdiam. Justio tidak tahu harus memulai dari mana. “Nama adik siapa?” Akhirnya keluar juga pertanyaan dari mulut Justio.
“Yohanna, Bang.” Jawabnya singkat.
Justio terdiam lagi sebentar, memikirkan pertanyaan berikutnya yang lebih pantas.
“Adik, sekolah di mana?”
Wanita itu mengangkat wajahnya. Terlihat matanya yang masih kemerahan, sepertinya dari tadi dia hanya menangis. “Di SMEA Wakuncar, Bang.” Jawabnya hampir tidak terdengar. Justio tahu sekolah itu, salah satu sekolah swasta elite di kota katulistiwa ini. Yang mampu sekolah itu hanyalah para anak anak pejabat dan pengusaha kelas kakap.
“Sudah berapa lama pacaran dengan Stefan?” Tanya Justio menyebutkan nama adiknya tertampan kedua itu.
“Setahun lebih, Bang.” Jawabnya lemah.
“Aah.” Desah Justio tersentak. Karena itu berarti kurang lebih sama dengan masa pacaran adiknya dengan Erna. Jadi benarlah jika kedua wanita ini dipacarinya serentak.
“Terus, anu, maaf. Adik sudah berapa bulan sekarang?” Tanya Justio lagi dengan tak enak hati.
Lama wanita muda itu terdiam. “ Tujuh bulan, Bang.” Jawabnya lemah.
Justio lalu menatap isterinya. Isterinya hanya mengangguk-angguk untuk menyatakan pembicaraan sepenuhnya diserahkan kepada suaminya.
“Begini, dik.” Jelas Justio selanjutnya. “Saya tidak masalah, siapapun yang jadi isteri adikku. Asalkan kalian sungguh-sungguh saling mencintai. Hanya saja saya tidak setuju dengan cara kecelakaan seperti ini, karena seharusnya kalian selesaikan sekolah kalian dulu, dapat pekerjaan, hidup mandiri dan tidak jadi beban orang tua lagi barulah kalian menikah. Tetapi apa boleh buat. Mungkin ini sudah jalan hidup kalian.” Justio menarik nafasnya sebentar. “Jadi adik saya tidak ada di tempatnya?”
“Tidak, Bang” Jawabnya sambil menggelengkan kepala. Terlihat matanya semakin merah.
Kembali Justio menarik nafas panjang. Justio melirik jam di dinding rumah mereka, pukul 21.17 WIBA. “Saya akan berusaha mencarinya…” Tegas Justio. “Yang penting, kamu tenang-tenang saja di sini. Jaga kandunganmu itu. Bagaimanapun itu anak kalian. Walaupun permulaannya tidak wajar seperti ini, tapi harapan abang kalian harus berusaha membuatnya jadi lebih baik. Ingat, jangan sampai hal seperti ini terulang pada anak-anak kalian kelak. Dan ingat, anak yang ada dalam kandunganmu itu tidak ikut menanggung kesalahan kalian, dia tidak minta datang ke dunia dengan cara sepeerti ini. Jadi jangan kalian sia-siakan dia.”
“Tapi bagaimana kalau dia lari selamanya, Bang?” Tanya Yohanna cemas. “Apakah dia mau bertanggung jawab?” Suaranya terdengar bergumam penuh kekhawatiran.
“Jangan khawatir, dia harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Aku yang akan selalu mencarinya. Kalau dia masih hidup di bumi ini, dia tidak akan dapat lari kemana.” Kata Justio tegas. Padahal sesungguhnya dalam hatinya dia sangat resah. Dia tidak tahu kemana harus mencari adiknya. Belum lagi menghadapi ayahnya yang keras kepala dan mau menang sendiri. Yang namanya mengalah tidak ada dalam kamus hidupnya. Ayahnya terkenal keras kepala bukan saja terhadap anak-anaknya, tetapi orang-orang yang berhubungan dengannya pun mengatakan seperti itu, sehingga dia jarang disukai. Itulah yang menyebabkan mereka memanggilnya sang kaisar. Sang kaisar yang berkonotasi diktator.
Tiba-tiba mereka mendengar suara motor yang ramai di luar. Ah, mungkin para tetangga pulang jalan, bathin Justio. Tapi beberapa menit kemudian, terdengar suara ketukan di pintu. Justio dan isterinya saling pandang. Justio lalu berdiri dan dengan hati-hati lalu membuka daun pintu. Di depan pintu telah berdiri empat orang laki-laki setengah baya dan seorang wanita juga paruh baya. Semuanya sama sekali tidak dikenalnya.
“Mencari siapa, Pak?” Tanya Justio agak keheranan. Karena wajah-wajah mereka kurang bersahabat. Mereka memandang tajam pada Justio.
“Saya bapaknya Yohanna…” Jawab seorang laki-laki berperawakan sedang berambut ikal.
“Yohanna?” Desis Justio sempat kebingungan. “Oh, ya. Silakan masuk, Pak.” Kata Justio buru-buru ketika teringat jika nama wanita muda yang hamil itu adalah Yohanna.
“Silakan duduk, Pak.” Kata Justio lagi dengan perasaan kurang enak, ketika rombongan itu sudah tiba di dalam rumah. “Sorry nih, Pak. Kita melantai saja, tak ada kursi.” Desis Justio lagi mencoba bersikap ramah. Namun tak ada senyuman dari para anggota rombongan itu. Mereka memang duduk, tetapi dengan wajah yang tak sedap di pandang.
“Jadi kamu abangnya Stefan?” Tanya yang mengaku ayahnya Yohanna tanpa ekspresi.
“Betul, Pak.” Jawab Justio mengiyakan.
“Nah, begini.” Cetus ayah Yohanna dengan gaya seperti seorang guru killer menerangkan pelajaran kepada para muridnya. “Anak saya yang hamil ini, saya titipkan ditempatmu, sampai urusan ini selesai. Sebagai abang mereka yang tertua, kamu harus membantu menyelesaikan persoalan ini, apapun caranya.” Katanya lagi dengan tangan menunjuk-nunjuk ke arah lantai dengan keras.
“Saya mengerti, Pak.” Kata Justio sambil melirik isterinya yang duduk sambil memangku anak mereka. “Bapak-Bapak dan Ibu jangan khawatir. Saya tetap membantu menyelesaikan persoalan ini.” Jelas Justio berusaha menjaga jangan sampai situasi memanas. Karena dari cerita singkat isterinya tadi, Justio tahu jika mereka ini berasal dari salah satu etnis yang berdarah panas. Sehingga membuat Justio resah, apa lagi mereka datang berlima, jika mereka berniat buruk, mana mungkin Justio mampu berhadapan secara fisik terhadap mereka, apa lagi harus sambil melindungi isteri dan anaknya.
“Untung kita masih satu suku, biarpun bukan dari sub-suku yang sama. Kalau tidak, tak bisa saya bayangkan apa yang akan kami lakukan terhadap keluarga kalian.” Celetuk salah seorang lelaki di antara mereka yang tubuhnya lebih kekar dan banyak tatoo.
“Saya mohon kita semua berpikiran jernih dan bersama-sama mencari jalan keluar yang terbaik, Pak.” Sahut Justio perlahan.”Saya yakin, tak ada seorangpun diantara kita yang mau persoalan seperti ini terjadi.”
“Apakah kamu tahu di mana adikmu itu?” Tanya ayah Yohanna memotong pembicaraan mereka.
“Saya belum tahu nih, Pak.” Jelas Justio. “Saya tadi pulangnya sudah malam.”
“Kalau begitu, kita tanya lagi ke sana.”
“Benar, kita harus memeriksanya ke sana…” Timbrung wanita dalam rombongan itu yang dari tadi tidak pernah bersuara.
“OK, Pak. Sayapun mau tahu kepastiannya. Di mana adik saya itu…” Desis Justio. Walaupun Justio sadar bahwa ini sudah larut malam, tetapi untuk memastikan sudah pukul berapa, dia tak berani melirik ke arah jam di lengannya. Takut membuat mereka tersinggung.
“Sebentar, Pak. Saya mau ganti pakaian dulu.” Kata Justio sambil berdiri dan dengan sudut matanya memberi kode kepada isterinya. Dia masuk ke kamar tidur diikuti oleh isterinya.
“Saya pergi dulu.” Bisik Justio. “Kalau bisa, anak kita segera ditidurkan dan setelah itu kamu temani Yohanna.”
Isterinya hanya mengangguk. Setelah berganti pakaian, Justio mencium kening isterinya dan keluar dari kamar tidur.
“OK, Pak?” Seru Justio ketika menemui para tamunya.
“OK, kita berangkat.” Kata ayah Yohanna. “Kamu tinggal di sinilah, sampai masalahmu selesai” Kata ayah Yohanna kepada anaknya ketika mereka mau berangkat. Sementara Yohanna tidak berkomentar apa-apa. Dia hanya tertunduk malu. Seribu satu macam penyesalan sepertinya berkecamuk dalam hatinya. Sementara kawan-kawanya masih begitu bebas menikmati masa sekolah dan masa mudanya, dalam waktu yang bersamaan dia sudah berbadan dua dan sebentar lagi akan jadi seorang ibu muda.
Rombongan itu membawa tiga buah motor dan Justio menaiki motor berboncengan dengan ayah Yohanna. Mereka meluncur ke arah perumahan tempat adik-adik Justio tinggal. Kompleknya tidak begitu jauh dari rumah Justio, hanya saja karena kesibukan masing-masinglah yang membuat Justio dan adik-adiknya jarang sekali bertemu. Selain itu, juga karena prinsip hidup yang berbeda. Jika ayah dan adik-adiknya tidak pernah mau mengalah terhadap siapapun, sebaliknya Justio dan isterinya tidak mau menyakiti hati orang lain.
Dalam perjalanan mereka hampir tidak ada berbincang, semuanya asyik dengan pikiran masing-masing. Sementara Justio merasakan beban yang ditanggungnya sungguh berat. Tugas yang pertama yang harus dia lakukan adalah mencari dan menemukan adiknya. Setelah itu, dia harus meminta adiknya bertanggung jawab atas perbuatannya menghamili anak orang lain. Kalau adiknya sudah mau bertanggung jawab, langkah berikutnya adalah mengurus proses pernikahan mereka. Lalu tugas terakhir yang tak kalah beratnya adalah bagaimana menjelaskan persoalan ini kepada ayahnya. Tanggung jawab Justio akan semakin berat, karena dia baru pulang kerja pada jam lima sore, sementara dia baru jam delapan sampai jam sembilan baru sampai di rumah. Sehingga waktu untuk mencari, menemukan adiknya dan mengurus urusan lainnya hanya bisa dilakukan setelah jam itu. Itupun tidak bisa maksimal, karena waktu yang paling lama hanya bisa dilakukan sampai jam 12 tengah malam. Karena Justio harus menyisakan waktu untuk beristirahat dan mempersiapkan tenaga untuk bekerja besoknya lagi. Paling-paling hanya bisa disiasati dengan memnita ijin atau pada hari libur. Itupun tidak juga terlalu maksimal, karena terlalu sering dan lama pergi dalam ijin sering jadi alasan pihak perusahaan untuk mem-PHK karyawannya. Sementara hari libur paling-paling juga hanya hari minggu, itupun mereka sering di minta untuk lembur.
Tanpa terasa beberapa belas menit kemudian mereka sudah sampai. Setelah memarkirkan motor, Justio lalu mengetuk rumah adiknya. Sudah beberapa bulan Justio tak pernah bertandang ke sini, baru malam inilah dia menyambangi mereka lagi. Di lain pihak, adik-adiknya tidak seperti orang lain yang sangat menghargai abang tertua dalam keluarga, adik-adiknya ini tidak memandang dia sebelah matapun. Hal ini merupakan pengaruh dari ayah mereka yang memandang rendah Justio semata-mata karena dia tidak tampan. Selain itu juga, prinsip hidup Justio dan adik-adiknya yang berbeda. Justio dan isterinya hidup dalam keterbukaan dan persahabatan dengan sesama dan saling menghargai, sementara ayah dan adik-adiknya selalu ingin menang sendiri. Mereka tak mau tahu orang sakit hati atau tersinggung, yang penting keinginan mereka tercapai dan mereka bisa hidup enak.
Pintu rumah terbuka, adik perempuan Justio dan suaminya muncul dari balik pintu. Mereka langsung mempersilakan rombongan ini masuk. Dari sorot mata mereka sepertinya mereka sudah maklum akan kedatangan Justio bersama orang-orang anggota rombongannya.
Setelah duduk, Justio berbahasa basi sebentar dan menjelaskan maksud kedatangan mereka dalam bahasa Indonesia. Karena bahasa kedua sub-suku ini tidak sama dan mereka tidak bisa saling memahami jika menggunakan bahasa daerah mereka sendiri-sendiri.
“Jadi, Stefan tidak ada di sini?” Tanya Justio setelah berbasa-basi dan secara singkat menjelaskan maksud kedatangan mereka.
“Ndak ada.” Jawab Marniwati, adik perempuannya yang kuliah di Fakultas Ekonomi Universtas Batu Buil ini.
“Semenjak peristiwa ini, kami sama sekali tidak tahu kemana dia”. Sambung Tobang, suaminya menambahkan, seorang lulusan fakultas Ekonomi tetapi sampai sekarang belum mendapatkan pekerjaan tetap.
Lama Justio menatap adik perempuannya dan suaminya. “Kalian sungguh tak tahu kemana Stefan, Edo?” Tanya Justio beralih kepada adiknya yang nomor dua dari bungsu, Edo Hidung Bangir. Ketiga adiknya tinggal bersama di rumah ayah mereka ini. Stefan, yang bungsu. Edo Hidung Bangir dan Marniwati bersama suaminya.
“Ndak tahu, Bang.” Jawab Edo sambil menggelengkan kepalanya. Justio beberapa kali menarik nafasnya.
“Apakah kalian benar-benar tidak tahu”. Tanya ayah Yohanna sambil menatap mereka bertiga.
“Sungguh, Pak. Kami benar-benar tidak tahu” Jawab Tobang. ”Untuk apalah kami menyembunyikannya.”
“Berani sumpah, Pak. Kami memang tidak tahu.” Tambah Marniwati. Sementara Edo hanya diam saja. Tangannya hanya sibuk memencet jerawatnya yang tumbuh subur seperti di pupuk di kedua pipinya.
Beberapa kali Justio menanyakan adik-adiknya dan juga beberapa kali dia mencoba menjelaskan segala akibatnya jika mereka menyembunyikan adiknya Stefan ini, tetapi jawaban mereka tidak berubah. Mereka tidak tahu kemana larinya Stefan.
“Kalau kalian benar-benar tidak tahu, tidak apa-apa. “Potong lelaki bertubuh kekar dalam rombongan ayah Yohanna sambil menyulut rokok Gudang Garam filternya.” Tapi kalau kalian berbohong, kalian tahu sendiri akibatnya”
“Jadi bagaimana?” Tanya ayah Yohanna kepada Justio.
Justio mengela nafas. Rasanya mustahil jika mereka langsung pulang, karena kalau malam ini tidak ketemu artinya malam besok harus mencari lagi. Sementara Justio tidak mau menunda suatu pekerjaan, apa lagi bagi persoalan seperti ini. Semakin cepat tuntas akan semakin baik.
“Kalian tahu tidak di mana rumah Erna?” Tanya Justio tiba-tiba sambil menatap kedua adiknya dan adik iparnya.
Mereka bertiga saling pandang. Sepertinya sangat berat untuk mengatakannya. Tetapi hal ini malahan membuat Justio curiga, jangan-jangan mereka bertiga sengaja menyembunyikan adiknya dan mungkin saja disembunyikan di rumah Erna.
“Di mana rumahnya?” Tanya Justio sekali lagi dengan nada meninggi.
“Di Bali Agung Permai…” Jawab Marniwati gugup. Sepertinya ada keraguan dalam jawabannya.
“Do, ambilkan saya kertas dan ballpoint!” Seru Justio, karena kebetulan tadi tidak membawa alat tulis. Edo beranjak masuk ke dalam kamarnya dan sebentar kemudian keluar lagi dengan membawa sebuah sobekan kertas dan sebuah ballpoint.
Kembali Justio menanyakan alamat Erna dengan teliti dan mencatat semuanya dalam sobekan kertas pemberian Edo.
“Kita ke rumah Erna. Bagaimana?” Tawar Justio kepada anggota rombongan itu, karena dia ingin cepat memastikan apakah adiknya ada di sana. Sehingga kalau benar ada, maka malam ini juga harus segera ke sana, jangan sampai dia punya kesempatan kabur lagi besoknya. Justio khawatir, jika adiknya kabur lebih jauh, maka persoalan ini akan semakin ruwet.
“Ide bagus sekali. Siapa tahu dia ada di sana.” Tukas lelaki bertubuh kekar. Sementara anggota rombongan yang lainnya hanya mengangguk mengiyakan.
“Baiklah. Kita berangkat.” Kata Justio sambil berdiri. Dia menyalami adik-adiknya diikuti anggota rombongan yang lain. Masing-masing menstarter motor mereka dan sebentar kemudian sudah melaju di jalan komplek perumahan. Jarak dari Siantan ke perumahan Bali Agung Permai sekitar dua puluh kilometer. Mereka keluar dari perumahan, memasuki jalan 28 Oktober, melintasi simpang Siantan, menyeberangi jembatan sungai Landak yang panjangnya 400-an meter, melaju di jalan tol sekitar 12 kilometer, menyeberangi jembatan Kapuas yang panjangnya sekitar 500-an meter, melintas di simpang tol, berbelok ke jalan Imam Bonjol, berbelok lagi ke arah jalan Ahmad Yani, dan terakhir memasuki jalan Perdana menuju ke arah perumahan Bali Agung Permai.
Justio yang duduk diboncengan, sambil melihat catatan nama jalan komplek dan nomornya dia melirik kiri dan kanan mencari rumah Erna. Setelah beberapa kali salah, akhirnya Justio berhenti di depan sebuah rumah yang cukup mewah, hanya saja tidak terawat. Setelah motor mereka semuanya sudah diparkirkan, Justio kembali melirik jam tangannya, sudah lewat pukul 22.00 WIBA. Hanya saja lampu di ruang tamu rumah Erna masih hidup dan suara televisi masih terdengar, juga suara orang tertawa menonton acara televisi. Dengan agak ragu Justio menekan bel di samping pintu rumah. Hanya Justio yakin mereka belum tidur.
Setelah beberapa kali bel ditekan, barulah terdengar bunyi kaki-kaki melangkah ke arah pintu dan tak lama kemudian pintu terbuka, satu orang lelaki dan satu orang wanita muda berdiri di balik pintu. Perasaan Justio mengatakan bahwa wanita yang berdiri di belakang adalah Erna. Sementara dari celah pintu yang terbuka tampak beberapa orang sedang duduk menonton televisi di ruang tamu.
“Ada apa, Pak?” Tanya lelaki muda yang berdiri di paling depan. Tampak sinar kekhawatiran dari wajahnya melihat rombongan Justio.
“Selamat malam.” Kata Justio cepat mengucapkan salam sambil tersenyum. Salam Justio langsung di balas lelaki muda yang membuka pintu. Justio sengaja melakukan ini, karena takut suasana jadi panas. “Begini…” Jelas Justio dengan penuh persahabatan. “Kami minta waktu sebentar untuk berbicara dengan Erna. Boleh?”
Lelaki muda yang berdiri di depan menoleh ke arah belakang. Justio dapat melihat jelas wanita dibelakang itu menggangguk. Tepat, pikir Justio. Wanita itu Erna adanya. Kemudian mereka dipersilakan masuk.
“Begini…” Jelas Justio setelah mereka dipersilakan duduk. Ada enam orang termasuk Erna duduk berhadapan dengan mereka. Justio yakin jika mereka ini satu keluarga, karena biasanya anak-anak dari satu daerah yang kuliah di ibu kota propinsi ini akan mencari tempat kos bersama. Sehingga Erna yang orang tuanya kaya ini pastilah mengajak kaum kerabatnya yang kurang mampu untuk tinggal bersama “Mungkin adik-adik sudah tahu akan maksud kedatangan kami ini?” Tanya Justio yang di jawab oleh ke enam orang itu dengan gelengan kepala. Namun semua pandangan mereka mengarah ke Justio.
“Pertama-tama saya mohon maaf. Karena kedatangan kami ini sudah larut malam.” Jelas Justio mulai menerangkan maksud kedatangan mereka. “Perlu saya perkenalkan diri, saya adalah Justio, abang tertua Stefan.” Jelas Justio melanjutkan penjelasan tentang maksud dan tujuan kedatangan mereka. Sementara itu, Erna tersentak mendengar Justio menyebutkan namanya, karena memang dia tidak pernah bertemu secara langsung dengan abang tertuanya Stefan ini. “Tetapi kami meminta adik-adik memahami kesulitan kami. Bapak ini…” Tukas Justio lagi sambil menunjuk ke arah ayah Yohanna dengan induk jari kanannya. “Adalah ayah Yohanna. Sementara Yohanna adalah sama seperti dik Erna ini, sama-sama di pacari oleh adik saya, Stefan. Hanya bedanya, sekarang Yohanna sudah mengandung tujuh bulan dan semoga saja dik Erna ini tidak mengalami hal serupa.” Tukas Justio sambil memandang kearah Erna, memastikan jika Erna tidak hamil.
Suasana dirunagan itu jadi sepi, hanya suara acara dari televisi yang sudah dikecilkan saja yang mengisi ruangan itu. Erna dan saudara-saudaranya hanya saling berpandangan. Rombongan Justio pun tidak ada yang berkomentar, sepertinya semuanya menyerahkan kepada Justio untuk mengendalikan pembicaraan ini.
“Perlu saya tegaskan.” Lanjut Justio setelah melihat tidak ada yang berkomentar. “Saya tidak memilih-milih jodoh untuk adik saya, tetapi siapapun yang dia rasa cocok itulah yang akan jadi ipar saya. Tapi kini persoalannya jadi lain. Karena ada wanita yang dihamilinya, maka mau tidak mau dia harus bertanggung jawab. Tetapi persoalannya tidak sampai di situ, muncul masalah baru karena adik saya ini melarikan diri. Dan itulah tujuan kami datang kemari, apakah adik-adik di sini ada mengetahui di mana Stefan berada sekarang?” Kata Justio mengakhiri penjelasannya yang cukup panjang lebarnya.
Anak – anak kost yang berada di rumah Erna kembali saling pandang. Erna juga memandang laki-laki muda yang ada di sampingnya.
“Pertama-tama saya mohon maaf, Bapak-Bapak dan Ibu.” Tukas laki-laki muda yang dilirik Erna. “Saya Joshua, abangnya Erna. Terus terang kami sangat prihatin akan masalah yang dihadapi keluarga Yohanna. Namun bukan berarti kami tidak mau membantu, tetapi kami sungguh-sungguh tidak tahu akan keberadaan Stefan. Dan, berkaitan dengan Erna. Setelah saya tahu persoalan ini, saya berjanji akan menjaganya agar tidak berhubungan lagi dengan Stefan,.
“Apakah adik-adik sungguh tidak tahu?” Potong ayah Yohanna, untuk meyakinkan dirinya.
“Sungguh, Pak.” Jawab Erna. “Untuk apalah kami menyembunyikannya.”
“Kami tidak menuduh kalian menyembunyikannya.” Potong Justio. “Tetapi sekecil apapun informasi tentang keberadaan Stefan jika kalian punya, itu akan sangat membantu.”
“Tapi kami sungguh-sungguh tidak tahu akan keberadaannya…” Jelas Joshua lagi meyakinkan mereka.
“Okey. Apakah kita pulang sekarang Pak?” tanya Justio ke arah ayah Yohanna dan kawan-kawannya. Mereka semua pada mengangguk. “Kalau merekapun tidak tahu, bagaimana mungkin kita harus bertahan di sini.” Gumam wanita setengah baya yang ikut dalam rombongan Justio. Belakangan Justio tahu jika wanita itu bibi luar Yohanna yang berasal dari pulau Sumatera.
“Jadi, adik-adik.” Kata Justio ke arah Erna dan keluarganya. “Kami mohon maaf atas kedatangan kami yang malam-malam begini. Kami harap kalian bisa mengerti akan kesulitan kami. Oleh sebab itu, seandainya ke depan ada informasi tentang keberadaan Stefan, tolong segera beritahukan kepada kami. Dan kami mohon diri, nih. Dan sekali lagi, kami mohon maaf atas ketidak enakan ini.” Jelas Justio sambil berdiri dan langsung menyalami Erna dan kaum kerabatnya. Kelakuan Justio lalu diikuti anggota rombongan lain.
Ketika hendak keluar dari dalam rumah Erna, tanpa sengaja Justio melirik ke arah garasi mereka. Justio tercekat, karena dia melihat motor adiknya ada di parkir di situ. Justio tak bisa melupakan motor adiknya, karena knapotnya memang dirancang khusus untuk menghasilkan suara yang membahana yang dilakukannya sendiri, sehingga susah di tiru. Sempat Justio berniat menanyakan keberadaan motor itu, tetapi dalam sedetik dia tersadar. Sepertinya memang ada upaya menyembunyikan adiknya, tapi di mana? Karena sudah larut malam juga, akhirnya Justio tidak jadi menindak lanjuti pemikirannya menanyakan perihal keberadaan motor adiknya itu
Rombongan Justio lalu meninggalkan komplek perumahan Bali Agung Permai. Setelah sekitar belasan menit, rombongan itu sampai ke rumah Justio. Mereka mengantar Justio, karena dia tidak punya kendaraan.
“Tidak masuk?” Tawar Justio ketika dia sudah berada di depan pintu rumahnya yang dibuka isterinya.
“Ndak usahlah, Nak. Sudah larut malam, tapi besok pagi kita akan mencari mereka lagi.” Tukas ayah Yohanna.
“Waduh, kalau pagi saya tidak bisa..” Jelas Justio.
“Ndak, bisa? Kenapa?” Kening ayah Yohanna berkerut tujuh.
“Saya harus bekerja.”
“Apakah tidak bisa minta ijin?”
“Bisa sih, Pak. Tapi kebetulan dua hari yang lalu saya minta ijin juga mengantarkan isteri saya berobat. Sementara kami dalam sebulan tidak boleh minta ijin sampai dua kali, selain karena akan jadi catatan bagi perusahaan juga gaji akan di potong.” Jelas Justio lagi.
Ayah Yohanna termenung sebentar, sepertinya menimbang-nimbang. “Kalau besok sore, bagaimana”
“Kalau malam, bisa Pak.” Terang Justio. “Karena saya pulang jam limaan, tapi Bapak tahulah jarak tempat saya kerja dengan rumah sehingga malam baru sampai ke rumah. Setelah saya makan malam, barulah kita berangkat.” Jelas Justio.
“Okey lah jika begitu.” Tukas orang tua itu. “Kami permisi, dulu, nih.”
“Apakah tidak ingin berbicara dengan Yohanna dulu?” Sekali lagi Justio menawarkan basa basinya kepada ayah Yohanna.
“Tak usahlah. Biar dia tidak merasa dimanjakan.” Tukas ayah Yohanna.
“Okeylah kalau begitu.” Kata Justio.
Setelah mengucapkan selamat malam, ayah Yohanna dan rombongannya meninggalkan Justio. Justio menutup pintu dan melirik jamnya, pukul dua belas malam lewat sedikit.
“Dia?” Bisik Justio setelah masuk ke dalam kamar bersama isterinya.
“Sudah tidur.” Jawab isterinya juga dengan nada berbisik. “Tadi kerjanya hanya menangis saja.”
“Syukurlah kalau dia bisa tidur. Karena kalau tidak bisa tertidur, maka bisa membuat stressnya semakin berat sehingga bisa saja dia berbuat nekad yang ujung-ujungnya akan semakin merepotkan mereka.” Komentar Justio. “Oh ya, rendamkan saya teh panas, Dik.” Pinta Justio sambil duduk meluruskan kakinya dan bersandar di dinding dapur rumah mereka. “Aku pusing dan lelah.”
Tanpa banyak komentar isterinya langsung merendamkan teh dan menggulanya. Setelah di saring lalu dihidangkannya kepada suaminya.
“Jadi bagaimana beritanya, Bang?” Tanya isterinya perlahan setelah meletakan gelas berisi teh panas di depan suaminya.
“Nihil.” Jawab Justio sambil menggelengkan kepalanya lemah. “Sepertinya mereka menyembunyikannya.” Bisik Justio perlahan dalam bahasa daerah mereka. Karena takut terdengar oleh Yohanna. Karena biarpun dia sepertinya tidur, bisa saja dia hanya pura-pura tidur.
“Sengaja disembunyikan? Oleh mereka siapa? Adik-adik abang?” Tanya isterinya beruntun dengan nada setengah berbisik.
“Ya..” Jawab Justio singkat.
“Dari mana abang tahu pasti?”
“Tahu pasti sih tidak, tapi aku setengah yakin.” Jelas Justio.
“Jadi adik-adik abang itu menyembunyikannya?
“Bukan hanya mereka, tapi Erna juga.”
“Wah, semakin rumit. Jelasnya bagaimana, Bang?” Desak isterinya.
“Ceritanya begini.” Kata Justio seraya meraih gelas tehnya dan meminumnya hingga setengah. “Saya jelas melihat di rumah adik-adik saya. Setiap mau menjawab pertanyaan yang kami ajukan, mereka selalu saling pandang. Sepertinya sebelumnya sudah ada kesepakatan. Dan ketika di rumah Erna, tanpa sengaja aku melihat sepeda motor Stefan ada diparkir di garasi. Dari situlah aku berkesimpulan jika mereka memang berusaha menyembunyikannya.”
Isterinya mengangguk-angguk. “Tapi kenapa abang tidak tanyakan di depan mereka?. Di depan rombongan ayah Yohanna, maksudku.”
Suaminya menggelengkan kepala. “Adik ingat tidak, bagaimana tidak bersahabatnya wajah-wajah dalam rombongan ayah Yohanna tadi?”
“Ingat!” Jawab isterinya setelah termenung sebentar berusaha memahami maksud pertanyaan suaminya.
“Nah. Itulah sebabnya.” Jelas Justio. “aku tidak mau suasana jadi panas, sehingga bukan penyelesaian masalah yang kita peroleh, tetapi bisa saja timbul masalah baru yang lebih rumit.”
Isterinya mengangguk-angguk. Dia bisa mengerti akan kekhawatiran suaminya. Dia tahu benar, jika suaminya ini tidak mau membuat permusuhan dengan orang lain tetapi malahan ingin bersahabat dengan semua orang. Satu orang musuh sudah terlalu banyak, tetapi seribu orang sahabat masih kurang, katanya suaminya biasanya mengingatkan dia.
“Saya akan ke sana sendiri dan menanyakan mereka sebagai orang dalam keluarga. Dan saya juga bisa lebih bebas berbicara dalam menjelaskan persoalan termasuk akibat-akibat yang akan dihadapi.” Tambah Justio lagi. Kembali isterinya hanya mengangguk mengerti.
Setelah itu keduanya lalu berbincang tentang juga tentang persoalan hidup lainnya yang mereka hadapi, mulai dari perlakuan berbeda ayah mereka terhadap Justio dan adik-adiknya, masalah kerja di perusahaan swasta yang tidak memberikan harapan hidup yang lebih baik serta beberapa kali topik pembicaraan mereka kembali lagi ke persoalan adik mereka ini. Sementara anak mereka sudah tertidur sejak dari jam sepuluh. Sekitar jam dua dini hari keduanya baru tertidur, itupun karena Justio sudah kelelahan oleh aktifitas fisik yang dilakukannya hari ini dari pagi sampai sore ditambah dengan berjalan kaki sejauh empat kilometer dan dilanjutkan mencari adiknya Stefan hingga lewat tengah malam. Saking lelahnya, mereka berdua tidak ingat menggantung kelambu, sehingga malam itu nyamuk di rumah mereka berpesta pora menghisap darah Justio dan anak isterinya.


Pukul 05.00 pagi, Justio sudah bangun. Walaupun masih sangat lelah karena hanya tertidur selama tiga jam, Justio memaksakan dirinya untuk bangun. Dia segera mandi dan menyikat gigi. Tanpa minum dan sarapan, dia langsung berpakaian dan menggerakan tubuh isterinya. Isterinya menggeliat.
“Aku berangkat.” Bisik Justio.
“Pagi sekali, Bang?”
“Aku ke rumah adik-adikku dulu, menyelidiki kecurigaanku itu. Setelah itu langsung berangkat kerja.” Jelas Justio.
“Oooh. Aku tak mampu bangun nih, Bang. Kunci saja dari luar dan kuncinya lempar lewa ventilasi di atas jendela.” Pinta isterinya.
Setelah mencium kening isterinya dan anak mereka, Justio keluar dan dengan perlahan mengambil sepatunya, membuka pintu rumah tanpa berisik, memasang sepatunya dan mengunci pintu dari luar. Setelah kunci dimasukan dari ventilasi jendela di kamar tidur mereka, Justio pun mengayunkan langkahnya menapaki jalanan komplek perumahan mereka. Udara pagi begitu segar, Justio menghirup udara dengan panjang untuk membersihkan paru-parunya. Terasa udara segar memasuki paru-parunya. Sungguh sehat. Di saat seperti ini, Justio menyadari betapa indahnya alam ciptaan Tuhan ini. Udara pagi yang segar, suasana yang sejuk. Tapi terkadang dia heran sendiri, mengapa alami yang begitu indah ini tidak bisa dinikmati oleh semua orang? Mengapa dalam hidup ini masih banyak orang yang suka menciptakan masalah untuk dirinya sendiri?
Sekitar lima belas menit kemudian, Justio sudah memasuki rumah adik-adiknya. Mereka sudah pada bangun. Justio langsung memasuki rumah.
“Kita berkumpul, aku mau bicara.” Kata Justio ketika melihat mereka sedang minum kopi sambil menonton berita pagi.
Adik-adiknya dengan enggan beranjak dari depan televisi ke ruang keluarga dimana duduk Justio sudah duduk menunggu mereka.
“Begini.” Kata Justio ketika adik perempuannya dan suaminya serta adiknya Edo sudah duduk dihadapannya. “Saya tidak bisa lama, karena harus segera berangkat kerja, kalau tidak saya akan terlambat.”
Mereka bertiga hanya berdiam diri, menanti kelanjutan kata-kata Justio. “Saya hanya meminta kejujuran kalian, kemana sesungguhnya Stefan?”
Sekilas mereka bertiga saling pandang. “Kami tidak tahu.” Jawab Marniwati, adik perempuannya.
“Benar kalian tidak tahu?”
“Benar, Bang!” Kali ini Tobang yang menjawab pertanyaannya.
“Kamu Edo, apakah kamu tahu?”
Edo juga menggelengkan kepalanya. Sehinga membuat Justio sedikit geram, karena perasaannya mengatakan jika mereka memang menyembunyikan Stefan.
“Ini pertanyaan terakhir.” Tukas Justio. “Selama ini sebelum kalian menjawab, selalu saling pandang. Lalu malam kemarin, saya ada melihat sepeda motor Stefan di parkir di garasi rumah Erna. Lalu apa penjelasan kalian terhadap hal-hal itu? Ingat, ini antara kita dalam keluarga.” Kata Justio tegas.
Ketiganya terdiam, kembali saling pandang. Akhirnya kembali Marniwati yang berkomentar. “Kami sungguh-sungguh tidak tahu. Mungkin hanya kebetulan kami selalu saling pandang sebelum menjawab pertanyaan. Lalu persoalan sepeda motor Stefan ada di rumah Erna, kami baru sekarang juga tahu. Itupun dari penjelasan abang.”
“Baik. Aku tidak menuduh kalian menyembunyikan Stefan.” Tukas Justio. “Cuma perlu saya ingatkan, jangan kalian anggap sepele persoalan ini. Ini adalah persoalan hidup mati anak orang. Bayangkanlah seandainya persoalan seperti ini posisinya terbalik, pihak kita yang mengalaminya. Pihak kita pada posisi sebagai wanita, jadi bagaimana jika pihak laki-laki meninggalkan kita dan tidak bertanggung jawab. Maka cobalah kalian bayangkan apa yang bisa terjadi. Kemungkinan terburuk adalah perang suku. Padahal orang lain pada sibuk berjuang untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidupnya, lalu pada saat yang bersamaan kita hanya menghabiskan umur kita untuk berseteru dengan orang lain dikarenakan hal-hal sepele yang seharusnya bisa dihindari. Jadi tolong pikirkan lagi, bantulah saya mencari Stefan. OK, saya harus berangkat kerja.” Kata Justio panjang lebar dan langsung meninggalkan adik-adiknya dengan perasaan geram. Tetapi sedapat mungkin di tahannya, karena tak baik menghadapi masalah dengan hati yang dipenuhi emsoi seperti itu. Justio berjalan ke arah luar komplek, menuju jalan besar yang dilalui oplet. Para tukang becak dan penjaja makanan sudah ramai berseliweran di jalan. Justio berjalan hati-hati menapaki jalan yang penuh kerikil, seperti jalan hidupnya juga yang tidak pernah mulus. Malahan menurut cerita orang-orang kampung, dulunya Justio tidak diakui anak oleh ayahnya. Sehingga ketika membesarkan diapun ayahnya tidak mencintainya seperti anak-anak lain di cintai orang tua mereka. Hal ini semakin parah lagi setelah adik-adiknya lahir, karena ternyata mereka pada tampan, kata ayah mereka. Tapi Justio tidak pernah berkecil hati, dilahirkan dalam keadaan tubuh yang lengkap dan berfungsi normal, sudah merupakan karunia baginya. Meskipun dia tidak tampan.



Selama seminggu, setiap malam Justio bersama keluarga Yohanna mencari Stefan. Mereka sudah mencari ke semua tempat yang diperkirakan bisa dijadikannya tempat nya bersembunyi. Bahkan Justio sudah mengirimkan berita kepada adiknya di Sintang dan keluarga lainnya. Tetapi Stefan benar-benar tidak tahu kemana rimbanya, seperti lenyap di telan bumi saja. Selain kelelahan bekerja dan mencari adiknya setiap malam, Justio dan isterinya juga kerepotan mengurusi Yohanna yang setiap saat menangis dan mau bunuh diri. Repotnya lagi, Justio dan isterinya berusaha membelikan makanan yang cukup asupan gizinya bagi Yohanna, karena mengingat kandungannya yang sudah besar. Padahal untuk membeli makan anak mereka saja sudah kepayahan karena gaji Justio yang memang jauh dari mencukupi. Beban hidup Justio dan isterinya semakin berat, karena pihak keluarga Yohanna akan segera melaporkan hal ini kepada pihak berwajib, jika Stefan tidak segera ditemukan.
Mata Justio sudah sembab karena kurang tidur. Berat tubuhnya sudah berkurang lima kilogram, karena nafsu makannya berkurang dan juga kurang istirahat. Tubuhnya yang sudah kurus semakin kurus dan bahkan boleh dikatakan tinggal kulit pembalut tulang. Isterinya yang melihat perubahan buruk pada suaminya ini jadi sangat prihatin. Sehingga isterinya memutuskan untuk membantu suaminya, dengan caranya sendiri. Tapi bagaimana caranya? Diapun tidak tahu.

Pengakuan
Malam itu Justio pulang kerja dengan tak bertenaga. Berjalan empat kilometer menuju rumahnya bukanlah jarak yang cukup dekat, belum lagi kondisi tubuhnya yang memang lelah dikarenakan kurang istirahat dan kurang makan. Satu minggu ini setiap malam selalu berkeliaran mencari adiknya Stefan. Pulang ke rumah juga tidak bisa langsung tidur, sementara pagi-pagi sudah harus bangun karena kalau tidak maka jam masuk kerja tidak terkejar. Jika terlalu sering terlambat, maka gaji akan di potong. Itu tidak bisa dibohongi, karena begitu jam sudah lewat jam tujuh maka otomatis mesin absensi mencetak kartu absensi karyawan dengan warna merah. Begitu juga kalau karyawan pulang duluan, maka mesin absensi akan mencetaknya juga dengan warna merah.
Setelah membuka sepatunya, Justio tidak langsung mengetuk pintu rumah. Dia malahan duduk bersandar di dinding teras rumahnya kelelahan. Sepatu yang telah dibukanya diletakan di samping tempat duduknya. Bau busuk kaus semata wayangnya terasa menusuk hidung, padahal sudah dilumuri dengan hancuran bawang putih untuk membuang baunya. Dia ingin sejenak melupakan persoalan yang dihadapinya. Sambil duduk bersandar, dia mencoba memejamkan matanya. Tetapi pikirannya tetap melayang ke sana kemari.
Justio sangat sedih dengan keadaan hidupnya, mengapa peristiwa seperti ini harus terjadi. Tes pegawai negeri sudah beberapa kali diikutinya tetapi tidak pernah lulus, padahal dia sudah cukup maksimal berusaha. Malam-malam sebelum tes dia belajar setengah mati bahkan hampir mendekati subuh. Semua mata pelajaran yang diujikan sebagai bahan tes dipelajarinya dengan sungguh dan rasa-rasanya semua isinya bisa disebutkan tanpa melihat buku, bahkan titik komanya pun dia hafal. Pada waktu pelaksanaan tes, rasanya semua bisa di isi dengan benar. Jadi di mana lagi kekurangannya? Apanya lagi yang masih salah? Lalu ada info yang bisa dipercayai kebenarannya, katanya kalau mau lulus harus menyiapkan minimal ratusan juta rupiah terlebih dulu. Justio tersenyum sendiri, dari mana mendapatkan jumlah uang sebesar itu? lagi pula kalau ada uang sejumlah itu, bukankah lebih baik dijadikan modal usaha daripada ikut ambil bagian menyuburkan KKN?
Dia sudah mencoba hidup jujur dan bekerja keras. Beberapa macam kerja juga telah ditekuninya untuk menyambung hidup. Menjadi sales kits kursus mandiri bahasa Inggris, menjadi sales barang-barang elektronik, menjadi sales perabot rumah tangga, juga pernah menjadi representatif pencari nasabah sebuah perusahaan asuransi. Tetapi akhirnya Justio merasa itu adalah sebuah pelecehan. Betapa tidak, selama menjadi sales mereka harus berpakaian rapi dan memakai dasi. Okey lah kalau memakai kendaraan, tapi ini berjalan kaki di bawah terik matahari dengan menggunakan pakaian rapi dan berdasi, tetapi keringat bercucuran dan tubuh bau nya minta ampun karena berjalan sambil membawa beban barang-barang bawaan yang harus dipasarkan.
Kkkrrrreeeeeet… Tiba-tiba pintu rumah mereka terbuka dan isterinya menjenguk dari dalam. “Wah, Bang? Mengapa tidak segera masuk ke dalam rumah? Di luar banyak nyamuk. Memangnya abang mau mendonorkan darah abang itu untuk para nyamuk?” Seru isterinya sambil memungut sepatu yang tergeletak di samping Justio. “Tadi aku tanpa sengaja mengintip ke luar dari balik kaca jendela rumah, ku lihat Abang duduk bersandar di depan rumah. Ada apa, Bang? Mengapa tidak mau segera masuk?”
Justio hanya menggelengkan kepala dan tidak segera berdiri, rasanya tulang-tulang di tubuhnya tak mempunyai energi sama sekali. “Aku capek sekali, Dik.” Gumamnya lemah.
“Ayolah, masuk.” Ajak isterinya seraya menarik tangannya perlahan.
Dengan malas-malasan Justio berdiri dan mengikuti isterinya masuk rumah. Dia memandang isi rumahnya, kok rasanya sepi. Eh, Justio jadi tersadar. Di mana Yohanna? Bukankah dia tidur di ruang tamu ini?.
“Dik, di mana dia?” Tanyanya penasaran.
“Dia siapa?” Kata isterinya pura-pura tak mengerti.
“Itu, si Yohanna?”
“Ooh, Yohanna. “ Gumam isterinya. “Nantilah aku ceritakan, yang penting sekarang abang mandi dulu dan setelah itu cepat makan.”
Meskipun masih penasaran, Justio membuka pakaiannya yang penuh keringat. Di kamar di lihatnya anak mereka sudah tidur dengan tenang. Justio melirik jamnya, pantaslah. Sudah hampir jam sepuluh malam. Justio lalu segera mandi dengan air yang sudah dicampuri isterinya dengan air panas. Terasa segar. Setelah itu dia segera berpakaian dan menuju ke dapur. Isterinya sudah menunggu di sana.
“Abang makanlah…!” Kata isterinya mempersilakan Justio.
Justio meraih air teh panas yang sudah disiapkan isterinya, mencerucupinya hingga hampir setengah. Mengambil piring, dan mengisinya dengan nasi dan lauk pauk. Sebentar kemudian Justio sudah makan dengan lahap. Isterinya memandangnya dengan senang hati, karena melihat suaminya menikmati masakannya. Adalah suatu kebahagiaan tersendiri bagi seorang isteri jika melihat suaminya mau memakan apa yang di masaknya dengan susah payah.
“Masalahnya sudah jelas sekarang…” Celetuk isterinya setelah mereka berdua duduk melantai di ruang tamu.
“Ya?” Desis suaminya sambil mengerenyitkan kening, menunggu kelanjutan kata-kata isterinya.
“Edo sudah mengakui semuanya…”
“Mengakui? Mengakui apa?” Tanya Justio semakin penasaran.
“Jika memang mereka yang menyembunyikan Stefan.”
“Aaahhh.” Desah Justio. “Lalu bagaimana bisa terungkap?”
Isteri Justio menarik nafas panjang sebelum menjelasknya. “Semula akupun tidak menyangkanya, Bang.” Terang isterinya mengawali penjelasannya. “Tadi pagi Gendut, anak yang tinggal dengan mereka itu ada ke sini. Lalu aku berusaha mengorek informasi dari dia. Abang tahukan jika anak itu tidak pernah mereka perlakukan dengan baik selama tinggal di sana?” Justio hanya mengangguk. “Nah, aku tekankan padanya, jika dia tidak berkata jujur, maka jika polisi sampai menangkap mereka maka diapun akan terkena. Akhirnya Gendut pun bernyanyi. Benarlah kecurigaan Abang itu. Pada awalnya Stefan dilarikan ke rumah Erna. Makanya motor Stefan ada diparkir di garasi rumah Erna. Lalu dari rumah Erna, Stefan lari ke Sintang ke rumah adikmu yang sangat tampan menurut Bapak itu. Mereka semuanya sekongkol, karena maunya mereka Stefan menikah dengan Erna. Yang celakanya, Erna pun menyetujui konspirasi ini.
“Jadi sekarang Stefan ada di Sintang.” Potong Justio tak sabaran menunggu penjelasan isterinya selesai.
“Betul. Di tempat adikmu yang paling tampan.”
“Berarti saya harus segera menghubungi dia.”
“Untuk apa?”
“Lho. Kok untuk apa?” Tanya Justio keheranan. “Saya akan meminta Stefan segera turun ke sini.”
“Ndak perlu, Bang.” Kata isterinya.
“Kok ndak perlu?” Celetuk Justio semakin heran.
Isterinya tersenyum. “Malam ini dia turun ke sini.”
“Turun ke sini? Siapa yang menghubungi mereka di sana?”
Isteri Justio mempermainkan matanya. “Abang dengar saja, aku mau ceritakan semuanya. Jangan di potong ya, sayang.” Pesan isterinya sambil tersenyum.
Justio terdiam. Meskipun masih penasaran dan geram, dia menantikan isterinya menceritakan semuanya.
“Setelah Gendut selesai menceritakan persekongkolan mereka.” Lanjut isterinya. “Maka akupun mendapatkan sebuah ide. Aku lalu meminta bantuan Gendut memanggil Edo ke rumah kita. Setelah Edo datang, aku pun langsung saja menceritakan jika kita berdua sebenarnya sudah tahu semuanya akan persekongkolan mereka. Aku mengatakan, jika hal ini juga sudah diketahui oleh pihak kepolisian. Dan jika dalam waktu tiga hari mereka tidak meminta Stefan turun ke sini untuk menyelesaikan tanggung jawabnya, maka mereka semua akan masuk sel polisi. Aku katakan kepada Edo, kamu pikirkanlah kuliahmu, dan Marniwati serta suaminya pikirkanlah anak mereka. Sedangkan bagi Stefan sendiri, pikirkanlah hukuman yang akan diterimanya karena menghamili anak orang dan tidak mau bertanggung jawab. Tak lupa juga aku tekankan, bagi Erna dan adikmu di Sintang. Aku katakan juga, karena mereka ikut membantu usaha pelarian itu, maka mereka juga tidak akan lepas dari kejaran pihak kepolisian.
“Jadi? Bagaimana selanjutnya?” Potong Justio tak mampu lagi menahan rasa penasarannya.
Isterinya tersenyum melihat rasa ingin tahu suaminya. “Setelah kukatakan semua hal itu, Edo dengan loyo pulang ke rumah mereka. Dua jam kemudian dia kembali lagi ke sini dan menyampaikan bahwa mereka sudah sepakat dan dia baru saja pulang menghubungi Stefan. Malam ini Stefan dan adikmu yang tampan pertama itu turun dari Sintang.”
Justio manggut-manggut. “Kalau mereka membohong?”
“Kalau mereka mengingkari kata-kata mereka, nantilah kita urus. Tapi yang pasti, mereka sudah mengakui tindakan mereka menyembunyikan dan melarikan Stefan. Pengakuan Edo, tanpa sepengetahuannya ku rekam dengan walkman Sony abang itu.”
Justio menatap isterinya lekat-lekat. “Kamu sungguh seorang isteri yang hebat. Tak salah aku memilihmu dulu.” Pujinya sambil memeluk dan mengusap rambut isterinya.
Isteri Justio hanya tersenyum, tapi tak urung juga hatinya tersanjung. “Aku hanya kasihan melihat abang. Pagi-pagi sudah berangkat kerja, pulangnya malam. Belum juga nasi sempat mengendap, abang berangkat lagi mencari Stefan sampai larut malam. Selama seminggu ini hal tersebut terus berlangsung. Itulah yang membuat aku jadi sangat khawatir. Abang bisa jatuh sakit jika hal itu terjadi terus menerus.”
Mendengar kepedulian isterinya, hati Justio trenyuh juga. Terkadang timbul rasa bersalahnya, karena sampai umur anak mereka sudah dua tahun ini, Justio belum mampu membahagiakan anak dan isterinya secara material. Justio semakin mempererat pelukannya pada isterinya dan diciumnya. Tanpa terasa air matanya mengalir, air mata seorang laki-laki yang tak berdaya. Setelah itu, keduanya pun lalu beranjak ke tempat tidur. Beristirahat, mengumpulkan tenaga untuk esok harinya.


Pernikahan
“Kamu tahu tidak? Saya paling tidak suka memberkati pernikahan rehab seperti ini.” Tukas Pastor Paulus dengan mata merah sambil menatap Justio dengan tajam. Suaranya yang keras membuat semua pekerja diruangan sekretariat Paroki itu mengarah kepada Justio. Semua mata mereka seolah menghakiminya.
“Saya mengerti, Pastor.” gumam Justio lemah dan penuh kekhawatiran. Karena kalau pastor Paulus ini tidak mau juga memberkati pernikahan adiknya, maka habislah sudah. Karena semua Pastor di empat paroki di kotamadya ini tidak ada yang mau memberkatinya. Sehingga pastor inilah harapan terakhirnya. “Saya berjanji akan membimbing mereka.”
“Janji membimbing mereka. Kalau kamu mampu membimbingnya, tidak mungkin wanitanya hamil duluan. Abang macam apa kamu, hah?” Bentaknya membahana. Justio tercekat juga, karena seharusnya pastor itu bersikap penuh cinta kasih dan lemah lembut, tetapi pastor yang ini nih kok garang sekali. Sejenak Justio melirik kearah para pegawai sekretariat Paroki itu lagi, mereka lalu segera pura-pura menunduk. Padahal Justio yakin mereka semuanya sedang mengkopy pembicaraannya dengan pastor Paulus. Akhirnya Justio memilih membiarkan pastor ini memarahinya habis-habisan.
“Seharusnya suatu perkawinan itu adalah suci dan agung. Melalui pertunangan dulu dan selama pertunangan itu adalah masa untuk lebih saling mengenal bukan untuk berbuat zinah. Lupakah dengan Perintah Allah yang ke enam; jangan berbuat zinah. Sehingga kalau dalam masa pertunangan akhirnya diketahui bahwa suatu pasangan tidak cocok, rencana pernikahan itu bisa dibatalkan tanpa salah satu pihak merasa dirugikan. Lalu kalau sudah hamil duluan seperti ini, perkawinan macam apa ini. Di sana sini perkawinan rehab semuanya. Dasar anak muda sekarang tukang buat zinah. Perkawinan hampir semuanya rehab. Generasi penerus yang biadab, tak bermoral, tapi sok suci. Padahal hampir tidak ada lagi yang masih perawan ketika memasuki mahligai perkawinan.” Cerca pastor Paulus, seolah Justio sendirilah yang melakukan kebiadaban itu. Justio tetap membiarkan pastor eksentrik ini memaki-maki sepuasnya. Bagi Justio, yang penting dia mau memberkati perkawinan adiknya.
“Lalu, apa rencanamu sekarang?” Tanya pastor Paulus akhirnya. Sepertinya dia kelelahan juga memarahi Justio tetapi yang dimarahi hanya diam saja. Persis seperti orang menyirami pasir dengan air, sebanyak apapun selalu lenyap di telan pasir.
“Semua kesalahan itu saya terima, Pastor.” Tukas Justio. “Saya akui, saya kurang membimbing adik saya. Namun saya meminta tolong Pastor, meresmikan perkawinan mereka. Agar mereka tidak berzinah seumur hidup dikarenakan hidup serumah tanpa pemberkatan perkawinan.”
“Baik. Saya pegang janjimu. Tapi ingat, jika mereka sampai bercerai, kamulah yang menanggung dosanya.” Kata pastor Paulus dengan tegas. Justio hanya mengangguk lega, karena kata-kata terakhir dari pastor itu menandakan kesediaan pastor itu untuk meresmikan perkawinan mereka, dan hal itu sudah merupakan bantuan yang luar biasa baginya.
Setelah pemberkatan perkawinan, pesta perkawinan dilakukan dengan sederhana. Yang diundang hanya kerabat dekat saja dan para tetangga. Karena acara resepsi sebenarnya hanya pemberitahuan kepada umum bahwa sebuah pasangan sudah resmi menikah. Selanjutnya mereka hidup menumpang pada keluarga Yohanna.


Kemarahan Sang Kaisar
Justio sedih sekali dengan hal-hal yang mereka alami selama ini. Untunglah dia sekarang sudah pindah kerja ke perusahaan yang baru, dengan income yang sedikit lebih besar. Justio teringat dengan ayahnya yang barusan datang dari kampung, rasanya ingin dia menyampaikan kebahagiaannya ini. Semoga saja ayahnya bisa sedikit terhibur dengan berita kepindahan kerjanya dan peningkatan gajinya. Justio mendiskusikan hal ini dengan isterinya yang rupanya sangat menyetujuinya. Karena peristiwa pernikahan rehab adiknya Stefan itu memang sesuatu yang sangat menyedihkan, jangankan memberikan kebahagiaan kepada orang tua. Tetapi malah membuat masalah dan menambah beban pemikiran orang tua.
Hari itu hari Minggu. Pagi-pagi sekali Justio sudah berangkat ke pasar Siantan. Dia berjalan kaki dulu sejauh empat kilometer, kemudian setelah sampai di simpang Siantan, barulah naik oplet. Cukup melelahkan memang, namun karena hari itu hari libur maka tak masalah bagi Justio.
Justio membeli sekilo daging dan sayuran berupa daun-daunan, dengan uang dari gaji perdananya di perusahaan baru itu. Dia memang sengaja menyisihkan uang gajinya untuk keperluan ini. Justio sungguh merasa kasihan dengan ayahnya, jauh-jauh datang dari pedalaman untuk melihat anak-anaknya tetapi bukannya peristiwa menyenangkan yang ditemuinya malahan kenyataan buruk yang harus disaksikan.
Meskipun Justio sadar jika ayahnya memperlakukannya tidak sebaik perlakuan ayahnya terhadap adik-adiknya, tetapi dia sangat menyadari jika tanpa ayahnya dia tidak akan pernah lahir ke dunia ini. Juga tanpa ayahnya menyekolahkannya, maka tidak akan pernah mungkin dia bisa menjadi seorang sarjana. Jadi sesakit apapun, setidak adil apapun ayahnya terhadap dirinya, dia sebagai anak tidak boleh sakit hati. Dia harus tetap berbakti kepada ayahnya. Itulah hal-hal yang membuatnya selalu ingin menyenangkan hati ayahnya. Meskipun dia tidak bisa memberikan apa-apa seperti harta benda kepada ayahnya, karena keadaan hidupnya yang sangat memprihatinkan itu, tidaklah mungkin baginya untuk melakukannya. Sehingga berupaya menyenangkan hati ayahnya sesuai kemampuannya, adalah hal terlogis yang bisa dia lakukan. Harapannya paling tidak bisa membuat ayahnya bisa berpikir lebih ringan karena berkurangnya beban berat pemikirannya.
Sepulang dari membeli bahan-bahan sayuran, Justio membantu isterinya memasak. Dia mengerjakan bagian yang berat-berat, karena menurut pemikiran Justio fisik wanita memang berbeda dari pria. Sepertinya Allah memang memposisikan pria dengan fisik yang kuat dan penuh pertimbangan logis, sementara wanita dengan tubuh yang lembut tetapi penuh perasaan, elastis dan tahan menahan sakit. Justio memotong-motong daging menjadi bagian yang cukup kecil, menumbuk bumbu dan mengangkat air dari sumur di belakang rumah mungil mereka.
Lebih dua jam kemudian, masakan mereka sudah rampung dan kebetulan mataharipun sudah naik ke puncak. “Bagaimana? Kita makan duluan atau saya ke tempat ayah terlebih dahulu dan mengajaknya makan bersama?” Tanya Justio meminta pendapat isterinya.
“Mungkin sebaiknya abang mengajak dia makan bersama-sama, toh sudah lama kita tak makan bersama dengan Bapak. Namun, sementara abang ke sana aku akan menyuapi anak kita terlebih dahulu.” Jawab isterinya.
Mendengar saran isterinya, Justio mengangguk. Dia menyiapkan dirinya sebentar kemudian berjalan ke arah rumah ayahnya. Sekiat dua puluh menit kemudian, rumah adiknya tempat ayahnya menginap sudah kelihatan. Setelah sampai di sana, dia melihat ayahnya sedang duduk-duduk di teras rumah dengan sebuah tabloid ditangannya.
“Abah.” Kata Justio setelah berbasa basi sebentar. “Abah ke rumah saya dulu, yok!” katanya meneruskan ajakannya.
“Ada perlu apa?” Tanya ayahnya dengan sikap agak enggan. Sambil matanya terus menatap bacaan di tangannya.
“Sebentar saja, ada yang perlu kusampaikan.” Terang Justio berdalih dan tidak mau langsung mengatakan jika dia mau mengajak ayahnya makan bersama. Ketika itu adik perempuan Justio kebetulan keluar dari dalam rumah.
“Ada apa?” Tanyanya menimbrung pembicaraan mereka.
“Aah, Justio mengajak aku ke rumah mereka sebentar.” Jelas ayahnya sambil memperbaiki kaca matanya.
“Ada hal pentingkah?” Tanya Marniwati lagi.
“Ndak. Hanya mengajak ayah ke tempat saya saja, anak saya rindu kakeknya.” Desis Justio mencoba menjelaskan lebih rinci.
“Ooohh.” Kata Marniwati sambil memainkan mulutnya. Nanti saja Tobang yang mengantarkan ayah, kasihan ayah jalan kaki.” Sambungnya lagi.
“Bagiaman, Bah?” Tanya Justio meminta pendapat ayahnya.
“Nanti saya bersama Tobang saja.” Jawab ayahnya.
“Okeylah kalau begitu.” Kata Justio tidak bisa memaksa. “Tapi jangan lama-lama, ya.” Sambungnya lagi. Tak lama Marniwati pun masuk kembali kedalam rumah mereka.
Setelah permisi dengan ayahnya, Justio pun kembali ke rumahnya. Keringatnya bercucuran, karena berjalan di terik matahari menempuh jarak lebih dari dua kilometer.
“Bapak, mana? Tak ikutkah?” Tanya isterinya heran melihat Justio pulang sendirian.
“Nanti di antar Tobang.” Jawab suaminya sambil membuka baju kaosnya yang penuh keringat. Selanjutnya Justio menggunakan kertas karton tebal untuk mengipasi tubuhnya yang berkeringatan.
Keduanya menunggu kedatangan ayah mereka. Sepuluh menit, belum muncul. Setengah jam, belum juga datang. Satu jam, bayangannya pun tidak ada. Setelah beberapa jam berlalu dan ayah Justio belum juga muncul, Justio melirik jam tangannya, sudah pukul 14.00 WIBA lewat sedikit. Perutnya dan isterinya sudah berbunyi karena lapar, apa lagi dari pagi keduanya tidak ada sarapan. Apa lagi makan benaran.
“Kalau adik lapar, duluan saja makan. Nanti saya dengan ayah.” Saran Justio karena kasihan melihat isterinya sudah kelaparan.
“Aah, kasihan abang lapar sendirian.” Sahut isterinya. “Lagi pula kita tak ada uang untuk membeli daging lagi untuk menghidangkan ayah makan.”
“Kalau begitu, kita tunggu sampai jam tiga, bagaimana? Masih mampukah?” Tanya Justio kepada isterinya.
“Kalau di samping abang, tak ada yang tidak mampu kulakukan.” Jawab isterinya mencoba berseloroh. Meskipun jelas sekali jika dirinyapun sudah kelelahan dan lapar.
Justio hanya tersenyum. Rasanya tak ada kebahagiaan dan keberuntungan dalam hidupnya selain mendapat isterinya ini. Wajahnya yang manis dan pengertiannya akan keadaan Justio. Dia tidak pernah menyalahkan Justio ataupun mencelanya akan keadaan hidup mereka yang jauh dari kemakmuran. Dia menjalani kehidupan bersamanya dalam untung dan malang. Bahkan jika ada pakainannya yang sobek atau lepas jahitannya, dia berupaya menjahitnya dengan tangannya sendiri, karena jangankan untuk membeli mesin jahit, untuk membayar penjahit dipasarpun mereka tidak mampu. Tetapi isterinya tidak pernah mengeluh melakukannya, dia melakukan semua tugas dan kewajibannya tanpa banyak beban. Baginya yang penting, suaminya memperlakukannya dengan baik, menyayanginya dan tidak main-main diluaran sana. Itu sudah lebih dari harta benda yang berlimpah. Toh segala harta ini tidak ada yang di bawa jika meninggal dunia, kata isterinya.
Sekali lagi Justio melirik jam tangannya, sepuluh menit lagi jam tiga sore. Anak mereka sudah tertidur di kamar mereka. Rasa lapar sudah cukup mendera Justio dan isterinya. Tetapi mereka tetap bertahan sampai waktu menunjukan pukul tiga sore, karena mereka masih berkeinginan makan bersama-sama ayahnya. Karena kebiasaan mereka, sebelum makan bersama maka akan dilakukan doa bersama terlebih dahulu. Lalu keinginan mereka berdua, sambil duduk makan penuh kekeluargaan ini, Justio akan menceritakan kepada ayahnya jika dirinya sudah mendapatkan pekerjaan yang baru dengan income yang lebih baik.
Tiba-tiba Justio dan isterinya mendengar raungan suara motor Yamaha Alfa milik adik iparnya mendekat. Justio yakin itu sepeda motor milik adik iparnya, karena suaranya memang khas semenjak knalpotnya dimodifikasi oleh Stefan.
Justio dan isterinya segera keluar, memang tidak salah karena tampaklah Tobang dan ayah Justio menuju ke rumah mungil mereka. Setelah menurunkan ayahnya, Tobang langsung pulang lagi. “Satu jam lagi jemput saya, ya.” Seru ayah Justio kepada menantunya ini.
Ayah Justio memasuki rumah dan langsung duduk di dekat sudut ruang tamu. Hanya saja Justio heran, wajah ayahnya sepertinya kurang senang.
“Hidangkan kita, Dik. Kita ajak ayah makan dulu.” Seru Justio dengan bangga kepada isterinya karena mau mengajak ayahnya makan dengan hasil dari gaji perdananya di perusahaan baru. Kebanggaan inipun ditanggapi oleh kaki isterinya yang langsung melangkah ke dapur untuk menyiapkan mereka makanan.
“Nanti sajalah. Saya sudah makan.” Kata ayah Justio menghentikan gerakan isteri Justio pergi ke dapur. Isteri Justio memandang suaminya seolah bertanya bagaimana ini.
“Ayah tak mau makan dulu bersama kami?” tanya Justio memastikan mengetahui kebimbangan isterinya.
“Saya sudah makan. Sekarang ceritakan saja maksud kalian mengajak saya kemari.” Tukas ayahnya tanpa ekspresi. Justio dan isterinya kembali saling pandang, selain karena mereka tidak menyangka kejadian seperti ini, keduanya juga sudah menahan rasa lapar yang luar biasa.
“Oh, kalau begitu minum saja bagaimana?” Tawar Justio kepada ayahnya.
Ayahnya tidak menjawab, tetapi malahan membaringkan dirinya dan menjadikan kedua tangannya sebagai ganjalan kepalanya. “Buatkan ayah kopi panas saja, Dik!” Kata Justio kepada isterinya dan pada saat bersamaan masuk ke dalam kamar tidur mereka mengambilkan ayahnya sebuah bantal.
“Bantal, Bah.” Kata Justio sambil memberikan bantal kepada ayahnya. Ayahnya tidak berkata apa-apa, tetapi bantal yang diserahkan oleh Justio di ambilnya juga. Justio lalu duduk di lantai berhadapan dengan ayahnya. Tak lama kemudian isteri Justio datang dari arah dapur sambil membawa segelas kopi dan langsung diserahkan ke dekat bapak mertuanya ini.
“Minum, Pak.” Kata isteri Justio mempersilakan bapak mertuanya minum. Tetapi jangankan menjawab, menoleh pun dia tidak ke arah air kopi yang dihidangkan oleh isteri Justio. Isteri Justio memandang suaminya, sementara yang dipandang hanya mengangkat bahu pertanda juga tidak mengerti akan sikap aneh ayahnya.
“Apa maksud kalian mengajak saya ke sini? Cepatlah, aku ada urusan di seberang, nih!” Kata ayah Justio lagi mendesak mereka berdua.
Kedua suami isteri muda ini kembali saling pandang. Melihat situasi yang kurang menggenakan ini Justio memutuskan untuk berkata dengan hati-hati. “Aah, aku hanya mau bercerita, jika sekarang sudah pindah kerja.” Jelas Justio.
“Gajinya ada dua juta, ndak?” tanya ayahnya dengan nada ketus.
“Ndak sampailah, Bah.” Jawab Justio malu-malu. “Mana mungkin perusahaan keluarga menggaji kita sebesar itu.”
“Jadi berapa?”
“Hanya lima ratusan ribu rupiah, Bah.”
Ayahnya diam, sepertinya kurang respek mendengar berita dari Justio. “Tapi ini jauh lumayan, Bah.” Lanjut Justio mencoba menerangkan. “Kalau di perusahaan yang dulu itu gaji saya hanya tiga ratusan ribu rupiah saja.” Papar Justio. “Memang apa-apa sekarang serba susah.”
“Itulah yang saya sedihkan terhadap adikmu itu.” Kata ayahnya tiba-tiba. “Coba dia kawin dengan Erna. Pasti hidupnya lebih baik.”
Justio hanya menghela nafas. Dia kurang sepaham sebenarnya dengan ayahnya, karena yang ada dalam pikiran ayahnya adalah kekayaan ayah Erna saja. Padahal belum pasti juga Erna mendapatkan bagian yang lebih besar, karena ada banyak juga saudara dan saudarinya yang lain.
“Bagi saya siapa saja yang jadi isterinya, tidak masalah. Cuma karena Yohanna ini sudah hamil duluan, maka dia harus bertanggung jawab.” Kata Justio mencoba memberikan pandangannya. “Mungkin juga ini memang sudah jodohnya.”
“Tapi saya sungguh kasihan dengan Erna.” Bantah ayahnya. “Padahal dia anaknya baik, sopan santun dan sangat hormat dengan saya.” Lanjut ayahnya lagi.
Justio sangat kurang setuju dengan penilaian awal seperti itu. “Masalah dia sopan santun dan hormat dengan Abah, tidak bisa juga jadi jaminan. Bisa saja setelah mendapatkan Stefan dia berubah seratus delapan puluh derajat.” Komentar Justio.
“Memang kalianlah yang berambisi agar Stefan jadian dengan Yohanna.” Tiba-tiba ayahnya membentak dengan suara meninggi. Sehingga Justio dan isterinya tersentak kaget. Tapi dia hanya terdiam saja. Namun dalam hatinya bertanya-tanya, apa gerangan yang menyebabkan ayahnya tiba-tiba marah-marah begini.
“Saya juga tahu, isterimu ini yang mengadu domba. Menjelek-jelekkan keluarga kita pada Yohanna. Saya tahu semuanya.” Kata ayahnya lagi dengan suara semakin tinggi.
“Wah, bukannya saya membela dia. Mustahil dia melakukan hal itu.” kata Justio mencoba menjelaskan.
“Kamu tak perlu membela dia. Apa yang kamu tahu tentang dia. Sementara kamu bekerja seharian, dia punya waktu bercerita macam-macam. Dia juga punya waktu untuk berdandan dan berjalan ke sana kemari, berbicara dengan lelaki lain.” Kata ayahnya lagi, sengit.
Isteri Justio juga tercekat melihat tingkah bapak mertuanya seperti itu. Apakah mungkin tadi pagi bapak mertuanya ini salah minum obat? Dia mencoba ikut menjelaskan persoalannya.
“Begini, Pak…”
“Diam…!” Bentak bapak mertuanya, sehingga isteri Justio tersentak dan terhenti berkata.
“Maksud saya…”
“Diam kataku. Saya sudah bilang diam, mengerti bahasa Indonesia tidak sih?” Bentak ayah Justio lebih keras lagi.
“Jangan ngomong lagi, Dik!” Bisik Justio kepada isterinya. Isterinyapun menunduk, tak berani memandang bapak mertuanya.
“Abah jangan percaya omongan…”
“Kamu juga diam. Tahu apa kamu? Isterimu berbedak dan bergincu tebal dan setelah itu berjalan ke sana kemari selama kamu bekerja, mana kamu tahu.”
“Itu mustahil, karena…”
“Diaaaaammmm….!” Bentak ayahnya membahana dan memanjang. Sehingga Justio dan isterinya tersentak. Ada apa gerangan yang membuat ayah Justio seperti di sengat kalajengking seperti ini. Akhirnya Justio dan isterinya memilih diam dan membiarkan ayahnya berbicara sepuasnya.
“Kalian kira saya tidak tahu. Kalianlah yang membuat Stefan harus menikah dengan Yohanna. Padahal Erna jelas lebih baik dari pada dia. Erna penuh sopan santun, hormat dengan orang tua, dan baik dengan adik-adikmu. Kalau datang ke rumah dia langsung mencuci dan memasak, dia juga langsung menyapu dan mengepel lantai di rumah adik-adikmu. Sementara isterimu ini, dia menjelek-jelekan kita. Dia menceritakan jika adikmu yang di Sintang kerjanya kawin cerai. Dia juga menceritakan jika aku ini orangnya pemarah, mau menang sendiri dan suka main perempuan. Lebih parah lagi, jika kamu berangkat kerja dia lalu berdandan dan mulailah dia berjalan ke sana kemari mencari laki-laki lain. Sementara kamu tidak tahu apa-apa, karena kamu bodoh, tolol, sarjana percuma, makan taik.”
Ayah Justio mengomel, memaki, dan berbicara sesukanya. Dari tuduhan yang diluar akal sampai yang memerahkan telinga. Baik tuduhan terhadap Justio dan isterinya secara tersendiri maupun tuduhan terhadap mereka berdua secara bersamaan. Lebih parah lagi, sampai kakek nenek isteri Justio yang sudah di dalam tanah pun terkena juga oleh sumpah serapah dan omelan ayahnya.
Setelah hampir satu jam memarahi Justio dan isterinya habis-habisan seperti layaknya seorang kaisar diktator, ayahnya lalu pulang tanpa permisi. Bahkan ketika keluar, gelas kopinya di tendang melayang menabrak dinding semen dan pecah berantakan. Justio dan isterinya hanya diam saja. Ayahnya berjalan keluar rumah mereka seperti gaya Jenderal Mac Arthur menang dalam perang Pasifik. Puas. Sebentar kemudian bayangannya sudah lenyap di balik pepohonan yang memenuhi kompleks perumahan itu.
Justio lalu segera menutup pintu, dia malu dengan tetangga yang dia yakin pasti pada menguping. Karena jarak rumah yang satunya dengan rumah yang lainnya di komplek perumahan ini tidak sampai sepuluh meter. Baru saja Justio selesai menutup pintu, dia mendengar sesungukan isterinya di belakang. Dia lalu segera menuju ke arah isterinya yang masih duduk bersandar ke dinding, memegang tangan isterinya dan memeluknya.
“Sudahlah. Ayah sudah pulang.” Bujuknya menenangkan isterinya. Tapi isterinya malahan menangis. “Sudah. Sudah. Lebih baik sekarang kita makan.” Bujuk Justio lagi.
“Apa kamu percaya kata-kata Bapak tadi?” Tanya isterinya di sela tangisnya.
Justio tersenyum. “Jangan kamu pikirkan kata-kata ayah. Aku percaya padamu.”
“Tapi itu sungguh menyakitkan.” Desah isterinya masih terisak-isak.
“Sudahlah.” Kata Justio sambil menggelengkan kepalanya. “Aku tahu siapa kamu. Selain itu, mana mungkin kamu punya waktu untuk berjalan dan berbincang dengan lelaki lain. Apa lagi berbedak dan bergincu tebal, karena kamu sama sekali tak punya bedak dan gincu. Juga setiap aku pulang, semua pekerjaan di rumah selalu sudah beres semuanya. Jadi mana mungkin kamu punya waktu jalan-jalan.” Kata Justio, menghibur isterinya.
“Syukurlah kalau abang tidak percaya. Karena demi Allah, aku tak pernah melakukan apa yang dituduhkan itu.” Tukas isterinya.
“Sudahlah, jangan dipikirkan. Itulah hidup, kalau tidak demikian, bukan hidup namanya.”
“Heran, dari mana Bapak dapat bahan aneh untuk memarahi kita seperti itu, ya?” Desah isterinya ketika sudah agak tenang.
“Entahlah. Mungkin juga adik-adikku, untuk menutup kesalahan mereka.” Jelas Justio.
“Keterlaluan benar.” Tukas isterinya geram.”
“Jangan kamu pikirkan lagi. Lebih baik sekarang kita makan. Ini sudah pukul empat lewat.” Ajak Justio sambil melirik jam tangannya.
“Aku tak berselera makan.” Kata isterinya.
“Ada atau tidak, kita harus makan.” Kata Justio. “Ingat, kamu harus mengurusi anak kita. Siapa yang akan mengurusi dia kalau kamu sakit?” Bujuk Justio. Inilah senjatanya yang paling ampuh untuk membujuk isterinya makan.
Isterinya dengan dibimbing Justio berdiri, keduanya menuju dapur. Justio membantu isterinya menyiapkan makanan. Setelah berdoa bersama, keduanya memaksakan diri untuk makan. Selera makan sudah hilang karena rasa lapar yang kelamaan, juga karena habis menerima dampratan dari ayahnya barusan. Mereka hanya makan untuk menyambung hidup. Keduanya mencoba mengunyah nasi dan sayur, tetapi lebih terasa seperti kerikil-kerikil tajam yang keras dan kuat.


Pulang Kampung

Semenjak peristiwa itu, ayah Justio tak pernah mengunjungi mereka lagi. Justio dan isterinyapun tidak pernah mengunjungi ayah mereka dan adik-adiknya. Karena dari cerita orang-orang dekat dan dapat dipercayai kebenarannya, ayahnya dan adik-adiknya sangat marah kepada mereka berdua. Karena menurut mereka, oleh usaha Justio dan isterinyalah maka Stefan menikah dengan Yohanna dan tidak jadi menikah dengan Erna. Padahal Erna adalah gadis yang baik dan pandai bergaul, menurut mereka.
Justio dan isterinya hanya tersenyum dalam hati. Dapat mereka simpulkan, bukanlah karena benar bahwa Erna itu baik hati, sopan santun dan pandai bergaul yang jadi pertimbangan ayah dan adik-adiknya. Tetapi sesungguhnya karena kekayaan ayah Erna lah yang membuat mereka jadi buta. Karena sudah terbayang tanah ratusan hektar, truk ratusan buah, mobil puluhan buah dan rumah yang hampir terdapat di setiap kota kabupaten. Sedangkan pemikiran Justio dan isterinya lain lagi. Yohanna sudah berbadan dua, jadi mau tidak mau dialah yang harus di urus dan dinikahi oleh Stefan. Karena selain pertimbangan kemanusiaan, juga kalau tidak segera diurus, maka bisa menimbulkan persoalan lainnya yang lebih rumit. Bahkan bisa-bisa memicu perang suku, karena Yohanna berasal dari sub suku yang berdarah panas dan tidak sabaran. Inilah yang tidak dikehendaki oleh Justio dan isterinya. Sementara Erna masih punya peluang, karena dia masih gadis sendiri yang tidak hamil. Dia masih seorang gadis yang bebas, bebas memilih siapaun jadi suaminya kelak. Bahkan yang lebih baik dari Stefan pun masih bisa dia dapatkan.
Semakin hari keadaan hubungan Justio dan adik-adiknya semakin memburuk. Bahkan sekarang setiap ayahnya datang dari pedalaman, dia tidak pernah lagi membagikan salai ikan seladang maupun tempuyak dan semua oleh-oleh yang di bawanya. Adik-adik Justio pun tidak pernah lagi mau berhubungan dengan Justio dan isterinya. Justio dan isterinya semakin merasa jika hidup di kota gubernuran ini semakin tidak menjanjikan. Belum lagi situasi kerja diperusahaan tempat Justio mencari nafkah, semakin hari keadaannya semakin ekstrim. Karena semenjak Justio masuk kerja, gajinya tidak pernah naik. Padahal kawan-kawan sekerjanya bahkan ada yang masuk belakangan, gajinya bisa puluhan kali lipat lebih besar dari Justio. Hal ini dapat diketahui ketika mereka menerima tunjangan hari raya kemarin. Karena salah seorang rekan sekerjanya, begitu habis menerima THR, dia langsung mampu membeli sebuah sepeda motor baru, satu set Home Theatre, serta kue-kue dan minuman kaleng di rumahnya banyak sekali. Semuanya di belinya dengan cash. Hal ini membuat Justio tertarik melakukan penyelidikan secara amatir, dan hasilnya sungguh mengejutkan. Ternyata semua mereka yang mendapatkan kenaikan gaji secara diam-diam itu rupanya mempunyai hubungan kekeluargaan dengan pemilik perusahaan. Inilah susahnya perusahaan keluarga.

Malam itu, Justio dan isterinya sedang duduk-duduk di lantai dapur setelah selesai makan malam. Jam sudah menunjukan pukul 09.45 menit malam waktu Indonesia Barat. Anak mereka, sudah tertidur sejam yang lalu. Keduanya sudah lama tidak sempat berbincang-bincang, karena biasanya hanya istirahat sebentar sehabis makan. Setelah itu, langsung tidur. Kelelahan.
“Rasanya saya mau pulang kampung, Dik.” Desis Justio memecahkan keheningan mereka berdua.
“Apa? Tidak salahkah yang saya dengar, Bang?” Tanya isterinya tersentak.
“Tidak. Aku memang mengatakan, berhenti kerja dan pulang kampung.”
Isterinya terdiam. Seribu satu macam pikiran berkecamuk dalam hatinya. Di tatapnya wajah suaminya lekat-lekat, meyakinkan apakah kata-kata itu memang benar keluar dari mulut suaminya. “Apa sudah Abang pertimbangkan matang-matang?”
Justio mengangguk. “Sudah. Keputusanku sudah bulat. Hanya menunggu persetujuanmu.” Terangnya singkat.
“Abang tidak sakit?” Tanya isterinya lagi sambil meraba kening suaminya. Bukannya maksudnya untuk memperolok suaminya, tetapi karena beban hidup yang di tanggung suaminya selama ini cukup berat. Bisa saja suaminya sampai stress.
Suaminya tersenyum. “Aku normal kok, dik. Ndak sakit.” Tukasnya sambil tersenyum.
“Jadi benar abang memutuskan untuk berhenti dan pulang kampung?”
“Benar.”
“Bisa Abang meyakinkanku? Bahwa apa yang telah Abang putuskan itu baik untuk kita?” Tanya isterinya sambil menatap mata suaminya.
Justio menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat, terasa seribu beban terbuang. “Tidak mungkin bekerja seterusnya pada perusahaan keluarga seperti ini. Kita tidak akan pernah diberi kesempatan untuk maju. Pemilik perusahaan hanya akan melihat SIAPA yang bicara, bukan APA yang dibicarakan. Karena bagi dia, keluarga adalah tetap keluarga dan orang lain tetaplah orang lain.
“Abang tidak ada rencana mencoba tes pegawai negeri lagi?”
“Percuma. Adik tahu sendiri akan permainan mereka. Kalau kita ikut permainan itu, artinya kita ikut menyuburkan KKN di negeri ini.”
“Saya paham, Bang. Tapi kalau tidak jadi pegawai negeri, lalu apa yang harus kita lakukan untuk menyambung hidup? Ingat, Bang. Anak kita sudah berusia dua tahun, sebentar lagi kita memerlukan biaya yang lebih besar. Sementara kita tidak mempunyai tabungan serupiah pun.”
Kembali Justio menarik nafas dalam-dalam. “Saya bisa memahami perasaan adik. Cuma yang namanya bekerja itu, tidak harus hanya jadi pegawai negeri. Setiap pekerjaan yang menghasilkan uang, itulah namanya bekerja. Yang penting kita mengerjakan barang yang halal.”
“Tapi kalau pegawai negeri itu ada pensiunan nya, Bang. Sehingga pada hari tua kita tidak khawatir lagi.”
“Banyak juga orang yang tidak jadi pegawai negeri itu hidupnya lebih makmur dari para pegawai. Bahkan pegawai negeri itu prosentasenya hanya sekian persen dari seluruh pekerja yang ada di Indonesia. Positifnya tidak jadi PNS, kita dipaksa untuk mengeluarkan semua potensi kita untuk bertahan hidup. Sementara jika jadi pegawai negeri, kita akan manja. Sehingga potensi kita yang sesungguhnya jarang tergali dengan maksimal. Dan tanpa kita sadari, ini adalah dosa. Kita tidak menggunakan semua potensi dan talenta yang telah diberikan oleh Allah kepada kita.”
“Lalu rencana Abang bagaimana? Apa yang akan kita kerjakan di kampung? Lalu rumah kita di sini bagaimana?”
“Itulah, Dik. Menurut Abang, inilah saat yang tepat untuk berhenti bekerja. Mumpung kita masih muda dan punya cukup energi untuk memulai kehidupan keras. Kita bekerja di perusahaan swasta, rasanya kita dilecehkan. Selain gaji dan tunjangan terjadi diskriminasi, kita juga seolah jadi pengkhianat negara. Bayangkan, hari kemerdekaan kita saja kita dipaksa lembur. Abang tidak bisa menerima itu.”
“Tapi, apakah abang punya bayangan. Apa kiranya yang akan kita lakukan? Dan bagaimana rumah kita ini?” Sekali lagi isterinya mengajukan pertanyaan yang nadanya hampir sama.
“Yang perlu kamu ketahui dulu, kita bukan pulang ke kampungku. Tapi ke kampungmu.”
“Kampungku? Mengapa?” Tanya isterinya.
“Ke kampungku mustahil. Tidak mungkin kamu sanggup hidup sekampung dengan ayahku yang keras kepala dan prinsip hidupnya yang aneh itu. Lalu alasan lainnya…” Justio sengaja tidak melanjutkan kata-katanya.
“Alasan lainnya itu apa?” tanya isterinya penasaran, karena Justio tidak melanjutkan kata-katanya.
“Ingat ndak kamu, jika mamamu punya kolam?” Tanya Justio. Dia sengaja menyebut ibu mertuanya, karena Bapak mertuanya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.
“Ingat. Lalu?” Jawab isterinya.
“Untuk tahap awal, kita bisa memelihara ikan dulu. Kolamnya aku lihat cukup besar dan ada mata airnya. Sementara ukuran kolamnya, tak kurang 15 meter kali 20 meter. Cukup untuk memelihara ikan mas sepuluh ribu ekor. Kita targetkan 50 persen saja yang hidup dan dalam enam bulan setiap ekornya mencapai berat satu kilogram. Berarti kita dapatkan 5 ton ikan. Dengan harga dua puluh lima ribu perkilonya seperti saat ini, maka kita akan dapatkan seratus dua puluh lima juta rupiah kotor. Jika di bagi enam karena lamanya pemeliharaan adalah enam bulan, maka setiap bulannya kita dapatkan penghasilan kotor sebesar dua puluh juta lebih. Katakanlah untung bersihnya hanya 20 persen saja, itu artinya penghasilan bersih kita sudah empat juta rupiah perbulan. Bandingkanlah dengan gaji Abang sekarang yang hanya lima ratus ribu rupiah. Sementara di kampung waktu saya lebih banyak bersama kalian, sedangkan diperusahaan saya hanya berjumpa kalian pada malam hari, itupun cuma beberapa jam saja.”
Lama isterinya terdiam, seperti mencoba mencerna apa yang telah dipaparkan Justio. Sepertinya apa yang dipaparkan oleh suaminya itu, di atas kertas masuk akal juga. “Kalau menurut abang itu yang terbaik untuk kita, terserahlah.” Komentar isterinya. “Tapi dari mana modal awal kita untuk membuka usaha perikanan itu dan ongkos untuk bertahan hidup selama enam bulan pertama?”
Justio kembali tersenyum mendengar pertanyaan isterinya yang penuh perhitungan itu. “Ada seseorang yang sudah bersedia untuk mengganti rumah kita ini. Dia bersedia mengganti uang mukanya dan 50% angsuran yang telah kita bayarkan. Abang sudah kalkulasi, jumlahnya cukup untuk modal awal usaha pembiakan ikan dan ongkos hidup kita selama setahun. Bahkan masih ada sedikit untuk uang cadangan.” Jelas Justio.
“Kalau sudah Abang perhitungkan semuanya, aku mengikuti saja. Aku yakin Abang selalu memikirkan yang terbaik untuk kita. Hidup di sinipun rasanya tidak menjanjikan keadaan yang lebih baik.” Sahut isterinya sendu.
Justio menatap isterinya dengan penuh rasa cinta. “Jadi Adik setuju.” Tanyanya. Yang dijawab dengan anggukan kepala oleh isterinya.
“Baiklah. Sekarang lebih baik kita segera tidur, mengumpulkan energi untuk besok pagi.” Ajak Justio. Keduanya lalu beranjak ke tempat tidur, yang hanya beralaskan tikar. Bahkan anak merekapun tidak mempunyai kasur, tetapi hanya dilapisi dengan kain saja. Keduanya pun meluruskan belakang tubuh di atas tikar. Karena kelelahan, keduanya tidak lama kemudian tertidur. Tidur mereka begitu nyenyak, bermimpi indah. Menyongsong hidup yang lebih baik. Masa depan yang begitu indah, semuanya jelas terbayang di depan mata. Meskipun baru dalam mimpi. Tetapi tidakkah semua hal terhebat di dunia ini dimulai dari sebuah mimpi?

***

Nanga Pinoh, Medio Desember 2006

Saturday, October 18, 2008

Cerpen-Mulutmu Harimaumu

Menurut informasi terakhir di jagat mas media, di kota kecil inilah kawan baiknya berdomisili. Semenjak di pecat dari LSM tempat mereka bersama bekerja dulu, kawannya pulang ke kota ini. Sementara Robert berangkat study ke Hawaii hingga meraih gelar Ph.D. Robert perlu sobatnya ini, karena sangat ahli mendengarkan nuansa bahasa daerah. Bahkan dia digelari bertelinga emas, karena sering menambah acuan baru bagi International Phonetich Alphabet.
Setelah bertanya ke sana-kemari tentang alamat kawannya, akhirnya Robert tahu akan keberadaannya. Dia lalu menitipkan Toyota Fortuner nya di Wisma Prona dan naik Ojek kurang lebih 15 menit dan setelah itu si pengendara Ojek yang kebetulan sangat mengenal Jonathan kawannya itu, mengantarnya berjalan kaki lagi selama kurang lebih 45 menit ke arah tepian hutan.
Di depan Robert terpampang suatu pemandangan yang membuatnya terpana. Diatas tanah yang luasnya mungkin lebih tiga hektar, terhampar luas beraneka tanaman dan perkebunan sayur. Ada durian, kelotok, manggis, nangka, pisang, bambu, petai dan puluhan tanaman tradisional lainnya khas Kalimantan yang dia tidak tahu apa bahasa Indonesianya. Juga berpetak-petak kebun sawi, kangkung, cangkok manis, peringgi, labu, gambas, kecipir, kacang panjang, mentimun, serai, lengkuas, cabai rawit, kunyit dan lainnya. Di tengah-tengah hamparan tanah itu terdapat sebuah kolam yang panjangnya mungkin lebih seratus meter dengan lebar sekitar dua puluh meter, di salah satu sisinya terdapat beberapa buah perahu dan tak jauh dari kolam terlihat sebuah rumah yang terbuat dari bahan kayu yang bentuknya sederhana tetapi teduh karena di dekatnya banyak pepohonan. Robert yakin jika kolam itu pastilah berisi ikan peliharaan. Dengan tidak bisa melepaskan pandangannya dari keasrian tempat itu, Robert menuju ke arah rumah di tengah hamparan perkebunan itu.
“Mimpi apa kamu jauh-jauh datang ke pondok ku ini?” Tanya Jonathan, seraya mengulurkan tangannya menyalami Robert. Kedua kawan karib yang sudah sepuluh tahun tak pernah bertemu ini berjabatan tangan begitu erat sampai bergoyang-goyang,
Pada saat itu seorang wanita paruh baya keluar dan melemparkan senyum ke arah tamu Jonathan. “Wah, kami kedatangan tamu agung rupanya. “Pasti S-3 nya sudah selesai, ya?” Celetuk isteri Jonathan.
“Aah. Itu hanya gelar doang. Tapi kawan saya ini biarpun cuma S- 1 tetapi otaknya melebihi S-3.” Seloroh Robert tak kalah seru.
Jonathan hanya tersenyum saja mendengar percakapan isterinya dan kawannya. “Mau duduk di luar atau di dalam?” Tawar Jonathan.
“Aku mau masuk saja…” Jawab Robert. “Delapan jam menjalani bekas perang dunia kedua, cukup capek juga rasanya katanya mengomentari kondisi jalan propinsi ke daerah domisili kawannya ini yang seperti bekas pemboman sekutu pada perang dunia kedua saja.
Jonathan hanya tersenyum saja. Sikap kawannya ini membuat Robert keheranan, karena itu bukan kebiasaannya. Biasanya dia langsung berkomentar dengan keras dan melontarkan kritikan di sana-sini.
Robert juga semakin keheranan, karena di setiap sisi dinding rumah kawannya terdapat tulisan; “Jaga mulutmu. Mulutmu adalah harimaumu!”
“Tulisan itu bukan untuk tamu…!” Jelas Jonathan tanpa di tanya, ketika melihat kawannya terpaku di situ. “Aku berani menulisnya di dinding, karena hampir tak ada tamu ke sini.”
Isteri Jonathan segera menyiapkan teh hangat untuk mereka dan sekaleng kue kering. Cukup lama mereka ngalur ngidul sana-sini, akhirnya percakapan mereka terfokus pada tulisan di dinding.
“Mengapa begitu banyak tulisan “Jaga Mulutmu. Mulutmu adalah harimaumu!” Jikalau boleh tahu?.” Pancing Robert sedikit bersiasat untuk mengorek keterangan dari kawannya ini.
Jonathan tersenyum lebar. Dia lalu memandang isterinya, sepertinya minta persetujuan. Isterinya mengangguk sebagai tanda setuju bagi Jonathan untuk menceritakannya.
“Sebenarnya tulisan itu untuk diriku sendiri.” Jelas Jonathan.
”Lho?” Celetuk Robert keheranan.
Jonathan kembali tersenyum. Sikapnya banyak berubah sejak terakhir pertemuan mereka, bahkan boleh dikatakan berubah secara drastis. Sekarang dia lebih banyak tersenyum dan kelihatan sekali jika wajahnya sangat sabar. Betul-betul the smile baby face.
“Ceritanya meski ku ringkas bakalan cukup panjang. Apa kamu betah mendengarnya?.” Tanya Jonathan.
“Ceritalah. Aku suka, pastilah ceritanya istimewa.” Sahut Robert. Dia lalu menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. Sambil mendengarkan cerita kawannya, dia juga sekalian melemaskan otot-ototnya yang kelelahan. Robert terus diam melihat sikap serius kawannya. Pastilah sangat menarik. Kalau tidak, mana mungkin kawan karibnya yang dulunya dia kenal sangat vokal ini sampai mau mengasingkan diri di tempat pertapaan seperti ini.
“Dulunya aku tidak bisa diam jika melihat hal yang tidak lurus di masyarakat. Dan saya yakin kamu masih ingat akan hal itu.” Kata Jonathan memulai ceritanya. Robert hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Tetapi setelah puluhan tahun dan terlebih ketika aku sudah punya anak, hal-hal yang aku lakukan itu sepertinya sangat sedikit manfaatnya. Malahan sangat berbahaya bagiku dan terutama sekali bagi anak isteriku..”
“Kok bisa?” Celetuk Robert tak tahan tidak bertanya.
Jonathan menarik nafas panjang, seperti sejuta beban menghimpit dadanya. “Kamu bayangkanlah.” Tukas Jonathan sambil menggelengkan kepala. “Sewaktu di perusahaan Plywood dan Perkebunan sawit. Aku pernah mengkritik keras para manajemen dan pemilik perusahaan, karena karyawan hanya di gaji maksimal lima ratusan ribu rupiah sementara para teknisi dari Singapura, Malaysia dan Philipina di bayar minimal enam puluhan juta rupiah sebulan belum lagi mereka dapat tambahan berbagai tunjangan. Padahal beban kerja dan keterampilan kurang lebih sama. Aku rasa hal itu sungguh tidak adil dan merupakan pelecehan terhadap kita warga negara Indonesia. Kamu tahu apa akibatnya? Aku dimutasikan ke hutan dan ditempatkan dibagian dimana aku hidup segan matipun tak mau. Lalu ketika kita sama-sama di LSM kemarin, kamu ingatkan ketika ditugaskan untuk meneliti kepedalaman dengan dana hibah milyaran rupiah dari luar negeri?” Tanya Jonathan sambil menatap Robert.
“Masih ingat!” Jawab Robert dengan anggukan kepala.
“Nah. Waktu itu kita hanya mendapat uang gaji saja, sementara ongkos perjalanan dan fasilitas pun kita harus bertengkar untuk memintanya. Dan setelah setahun meneliti keluar masuk hutan, kita pulang dan kamu masuk rumah sakit sementara saya terkena malaria. Lalu apa yang diperoleh mereka yang hanya duduk di kantor? Masing-masing mereka mampu membeli mobil dan bahkan direktur kita mampu mendirikan rumah dengan budget miliran rupiah. Aku mengkritik keras. Dan kamu tahu akibatnya? Aku diberhentikan tidak dengan hormat, dengan alasan kita kelebihan orang sementara volume kerja sedikit.”
Robert manggut-manggut. Dia juga ingat betul bagaimana kerasnya kritikan Jonathan waktu itu. Tetapi mereka semua tidak ada yang berani mendukungnya, karena mereka takut kehilangan pekerjaan. Tidak ada mereka yang berani menjadi pahlawan kesiangan. Sehingga Jonathan berjuang sendiri, padahal apa yang dia sampaikan sesungguhnya aspirasi mereka semua. Ada juga terlintas rasa bersalah dalam benak Robert, tapi toh semuanya sudah jadi bubur.
“Lalu aku pulang ke sini, ke kota tempat pertama kali aku mengenal mantan pacarku ini.” Kata Jonathan seraya melirik isterinya. “Aku memulai hidup di sini, tanpa tabungan, tanpa pekerjaan, tanpa harta benda. Sementara isteriku sedang berbadan dua. Untungnya aku masih punya sebuah sepeda motor, meskipun masih kreditan. Aku lalu keluar masuk kampung disekitar sini, mengumpulkan karet, menjual bawang putih dan bahkan terkadang sebagai pengojek, hanya untuk sekedar menyambung hidup.”
“Tapi yang pentingkan semuanya sudah lewat.” Celetuk Robert terharu. Tak disangkanya begitu berat derita dan perjuangan kawannya ini.
Jonathan tersenyum, sepertinya rasa sedihnya yang sempat muncul kepermukaan tadi sudah mulai menguap. “Untuk sekarang ya. Tapi sampai ke situasi sekarang ini, sangat panjang jalan yang kulalui.”
“Oh, ya?”
“Betul. Bahkan cukup menyakitkan. Banyak cerita, tapi kutambahkan beberapa saja.” Lanjut Jonathan.. “Pernah saya ikut diundang menghadiri rapat tentang minyak tanah yang sering lenyap dari pasaran. Kalaupun ada maka harganya bisa dua puluh kali lipat.”
“Lalu bagaimana hasilnya?”
“Saya adalah yang paling keras berbicara. Kebetulan ada beberapa anggota dewan juga yang menghadirinya. Sebagai rakyat yang mengharapkan mereka menyerap aspirasi kita, saya berbicara habis-habisan. Kamu bisa menduga apa yang terjadi?” Tanya Jonathan sambil menjemput beberapa potong kue kering. Robert hanya menggelengkan kepalanya.
“Sejak itu saya tidak bisa membeli minyak tanah, jawabannya minyak tanah kosong. Jadi selama ini saya terpaksa memasak dengan kayu bakar”
“Walah-walah. Mengapa sampai begitu?”
“Rupanya sembilan puluh persen anggota Dewan kabupaten ini berjualan BBM, meskipun banyak yang bukan atas nama mereka.” Jelas Jonathan sambil tertawa getir.
“Tapi bagaimana para pekerja kios BBM itu bisa tahu jika kamu yang mengkritik keras?”
“Inikan kota kecil kawan, tinggal mereka tempel saja poto saya di kios mereka.” Jelas Jonathan sambil tertawa.
Robert pun ikut tertawa. “Lucu juga, ya. Tapi kamu tidak sakit hati?”
“Sakit hati? Jelas dong. Tapi apa yang bisa saya lakukan. Saya seorang diri, mana mungkin saya melawan tirani itu sendirian?”
Tanpa sadar Robert menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Bukan hanya itu,” Tambah Jonathan. “Saya sekarang sudah tidak menjadi anggota Credit Union lagi.”
“Sampai bisa begitu?” tanya Robert keheranan. Sebab salah satu kewajiban mereka sebagai anggota LSM adalah wajib menjadi anggota Credit Union dan disarankan biarpun sudah tidak menjadi anggota LSM lagi, mereka tetap menjadi anggota Credit Union.
“Gara-gara mulut ku ini juga.” Sahut Jonathan. “Waktu itu seperti anggota Credit Union yang lainnya, aku menghadiri rapat tahunan anggota. Aku mempertanyakan harga tiga unit komputer yang mencapai empat puluh lima juta rupiah, karena ku tahu harga satu unitnya di sini sekitar tiga jutaan. Akhirnya aku tidak pernah di undang mengikuti rapat anggota tahunan lagi. Bahkan aku selalu dilayani dengan sinis jika menyimpan dan menarik tabungan. Beberapa bulan kemudian akhirnya aku tahu, jika pengadaan perangkat komputer untuk komputerisasi di Credit Union itu dilaksanakan oleh salah seorang anak dewan pengurusnya.”
“Gila. Sungguh gila.” Komentar Robert singkat.
“Rapat-rapat di lingkungan sekolah juga aku tidak pernah di undang lagi…!” Kata Jonathan tanpa di tanya.
“Apakah sama kasusnya perihal komputer di Credit Union itu?” Tanya Robert meyakinkan dirinya.
“Betul.” Jawab Jonathan. “Sewaktu aku menghadiri rapat komite di sekolah, salah satu laporannya adalah uang komite sekolah sejumlah seratus juta lebih di gunakan untuk biaya perbaikan komputer, padahal komputer yang ada itu hanya delapan unit dan itupun Pentium II second. Aku bilang, mengapa harus mengeluarkan biaya sebesar itu hanya untuk perbaikan komputer Pentium II second, mengapa tidak membeli Core 2 Duo saja, toh dengan harga di daerah sini kita bisa meminang lebih tiga puluh unit dengan spesifikasi standar. Namun akibatnya aku tidak pernah di undang lagi rapat komite sekolah.”
Robert kembali menggeleng-gelengkan kepala. Dia heran juga sepertinya semua kemalangan harus dihadapi oleh kawannya ini. Dipandangnya kawannya ini lekat-lekat dan jelas jika wajahnya yang sudah penuh kerutan itu telah merekam catatan hidup yang penuh kegetiran. Rambutnya sudah mulai dua warna, tetapi tubuhnya tampak masih sehat. Mungkin karena setiap hari bergelut dengan tanah perkebunannya itu, sehingga tanpa sengaja tubuhnya selalu berolah raga.
“Sebenarnya, aku baru enam tahun pindah ke tempat jin buang anak ini, istilah Jonathan untuk menggambarkan terpencilnya pondoknya itu dari penduduk lain. Dulunya aku tinggal di tengah kota kecil.” Sambung Jonathan lagi membuyarkan lamunan Robert.
“Oh ya. Lalu rumahmu itu masih di kota?”
“Masih. Tapi pemiliknya sudah orang lain?”
“Ya?” Desah Robert sambil mengerenyitkan keningnya mengharapkan penjelasan lebih lanjut.
“Kujual murah. Bahkan sangat murah. Ceritanya, ketika itu disekitar tempat tinggal kami banyak yang memelihara babi dan ayam pedaging. Para tetangga pada komplain dengan baunya. Akhirnya kami sepakat untuk melaporkan hal itu kepada pemerintah daerah. Dan lagi-lagi saya yang dipercayakan untuk memimpin.”
“Lalu?”
“Kami menghadap PEMDA. Tapi tak ada hasilnya.”
“Kok bisa begitu? Memangnya mereka tidak perduli?”
“Ternyata para peternak itu semuanya punya keluarga di pemerintahan. Pejabat teras lagi.”
“Jadi sia-sialah kedatangan kalian itu?”
“Bukan hanya sia-sia.” Tukas Jonathan. “Beberapa hari kemudian, beberapa orang preman mengunjungi rumahku. Hasilnya beberapa tulang igaku sebelah kiri ini patah.”
“Waduh. Sampai separah itu. Apa tidak lapor polisi?”
“Setelah sembuh aku melaporkannya. Tapi para pelaku itu dibebaskan.”
“Masa?” Komentar Robert hampir tak percaya. “Jadi polisi tidak memprosesnya?”
“Katanya tak cukup bukti dan saksi. Malahan aku dituntut karena merusak nama baik. Hasilnya aku menginap di hotel prodeo selama tiga bulan.”
“Wah.Wah. Wah.” Desah Robert sambil terus menggelengkan kepalanya.
“Itulah.” Kata Jonathan. “Sekeluar dari tembok penjara, aku berdiskusi dengan isteriku. Dia memberikan masukan, agar aku jangan lagi terlalu vokal. Lebih baik aku mengurusi keluarga saja. Toh lebih dari dua puluh tahun terlalu vokal membela kepentingan orang banyak, tidak ada hasil positif bagi kami. Selain secara ekonomi kami morat-marit, harta benda tak punya, tabungan tak punya sementara anak sudah mulai sekolah, aku juga hampir kehilangan nyawa.”
“Jadi itu yang membuat kamu bertapa di sini?” Tanya Robert sambil tersenyum getir. Trenyuh juga hatinya melihat kondisi kawannya yang dia kenal memang vokal tetapi sangat jujur dalam hidupnya.
“Betul. Akhirnya aku berjanji untuk menjaga mulutku. Karena mulutku adalah harimauku. Bahkan tiga bulan pertama, mulutku ini ku plester, hanya dibuka ketika makan dan minum saja. Setelah agak bisa menahan bicara, barulah tidak ku plester lagi.”
Robert menarik nafas panjang sambil terus menggeleng-gelengkan kepala. Lama keduanya terdiam. “Kamu lahir ditempat yang salah dan di jaman yang salah.” Desis Robert lemah, hampir tak terdengar. Lalu keduanya membisu lagi.
“Oh ya.” Kata Jonathan memecahkan kebisuan mereka. Dari tadi aku terus yang memborong pembicaraan. Tentunya ada kepentingan khusus sampai jauh-jauh datang kemari?”
Robert tersenyum. “Dugaanmu memang tidak salah!”
“Jadi?”
“Aku menawarkan suatu kerja sama.”
“Ah, yang benar saja.” Tukas Jonathan. “Usiaku sudah hampir kepala lima. Tak ada lagi energi untuk melakukan pekerjaan berat.”
“Ha.Ha.Ha.” Tawa Robert meledak. “Mana mungkin aku mengajakmu masuk hutan keluar hutan seperti yang kita lakukan dulu. Sekarang aku sudah mendirikan NGO sendiri dan sewaktu di Hawaii aku bertemu sebuah non profit foundation yang mau mendukung penelitian tentang linguistik masyarakat adat di Kalimantan. Kami deal, dan dananya lebih satu miliar. Aku perlu telinga emasmu itu.”
“Tapi aku tak mungkin meninggalkan kota ini.” Jawab Jonathan masih kurang tertarik.
“Tak perlu meninggalkan kota ini kawan. Bahannya beserta apa yang harus kamu lakukan kukirimkan kesini dalam format digital. Bagaimana?”
“Bagaimana ya?” Desah Jonathan masih ragu.
“Jangan khawatirkan bayarannya. Tanda tangani perjanjiannya, dan dua ratus juta untukmu. Bagaimana?”
Jonathan terdiam. Dia bekerja tanpa meninggalkan kotanya, hanya berkutat di depan MP3 player dan membuat transkripsi kata-kata bahasa daerah. Dan bayarannya dua ratus juta. Dari mana dapat uang sebesar itu? Lebih dari cukup untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai tamat SLTA dan bahkan untuk kuliah di universitas negeri.
“OK lah. Asalkan bukan angin surga saja.” Desisnya lemah. Karena tawaran itu sungguh menarik.
“Ha. Ha. Ha. Itu baru kawan.” Seru Robert seraya mengulurkan tangan menyalami kawannya ini. “Persekot sepuluh persen bisa kuberikan sekarang.” Katanya seraya meraih tas hitam yang dibawanya tadi. Dia lalu mengeluarkan dua kelompok uang angka seratusan ribu rupiah dan beberapa lembar kertas bertulis.
“Dua puluh juta kamu terima dulu. Baca perjanjiannya dan kalau OK, tanda tangani itu dan juga kwitansinya.” Kata Robert seraya menyerahkan lembaran-lembaran kertas perjanjian, kwitansi dan dua tumpukan uang dengan nominal dua puluh juta rupiah di atas meja. Sehingga membuat Jonathan tercekat, hampir dia tidak percaya. Dua puluh juta? Tapi memang di atas meja memang ada tumpukan uang sepertinya sejumlah itu. Di cubitnya tangannya sendiri, sakit. Jadi nyata, dia tidak sedang bermimpi.
Robert tersenyum melihat tingkah kawannya, “itu memang benar. Orang-orang di Amerika dan Eropa itu tidak pelit jika sudah kaya. Mereka menggunakan sebagian kekayaannya itu untuk membantu sesamanya di seluruh dunia, tanpa memandang suku dan agama.” Tukas Robert. “Jadi uang yang kamu lihat itu memang nyata.!”
Jonathan lalu meraih Surat Perjanjiannya, membacanya teliti. Aman. Lalu menanda tanganinya serta kwitansinya. Uang itu di hitung dengan perlahan, benar 20 juta. Suatu nominal rupiah yang hanya pernah di pegangnya ketika melelang rumahnya dulu, enam tahun yang lalu. Jonathan lalu menyerahkannya kepada isterinya.
“Saya harus pulang malam ini juga.” Jelas Robert. “Nih, Notebook ini kupinjamkan. Apakah masih ingat cara memakainya?” Godanya sambil menyerahkan satu unit Notebook Acer Ferrari kepada Jonathan.
“Sialan kamu.” Balas Jonathan seraya menggelitik kawannya.
“Aku tak bisa berlama-lama.” Tukas Robert sambil merapikan dan mengemas seluruh berkasnya. Robert memasukan surat-surat dan kwitansi yang sudah ditanda oleh Jonathan. Dan copynya diberikan kepada Jonathan.
“Wah, tidak bermalam atau paling tidak makan malam dulu di sini?”
“Tak usah repot-repot. Besok saya ada pertemuan dengan perwakilan lembaga donor dan lusa harus berada di Chicago ke kantor pusat lembaga itu.” Jelas Robert.
Ketika Robert sudah pulang, Jonathan memandang isterinya. “Akhirnya ada juga yang menghargai profesionalismemu.” Gumam isterinya. “Benar kata pepatah, orang sabar dikasihi Tuhan.” Lanjut isterinya lagi seraya mencium kening suaminya mesra.
Sesaat kemudian keduanya lalu menuju ke arah dapur, di sana kedua anak mereka yang masing-masing sudah duduk di kelas satu dan dua SD duduk mengitari meja makan. Di atas meja makan sudah tertata rapi nasi dan sambal ikan asin, daun ubi rebus, sambal cabe dicampuri bawang putih dan terasi. Tak lupa juga di atas piring tersedia lalap daun sawi keriting dan irisan mentimun hasil kebun mereka sendiri. Jonathan memandang isterinya dengan senyuman. “Mari kita makan!”, ajaknya. “Kamu pimpin doa makan, nak!”, lanjutnya lagi kepada anak mereka yang sulung.
Sambil mereka makan, lagu Rumah Ku Istana Ku dari Ahmad Albar dengan Gong 2000 nya mengalun lembut dari FM Radio swasta melalui speaker setereo radio semata wayang mereka.

Nanga Pinoh, Pebruari 2007